PENGUMUMAN KEMATIAN
Oleh : Sumanto, S.Pd.
Januari 2011. Kembali rapat dinas digelar di sekolahku. Ujian Nasional yang telah diubah kebijakannya sedang dibicarakan. Menteri baru dengan kebijakan baru. Itu yang selalu terjadi di negeriku. Kuamati wajah penuh binar di raut muka pimpinan sekolahku. Dari sambutan pembukanya ia kelihatan sangat gembira dengan kebijakan baru Ujian Nasional yang sudah mulai ramai dibicarakan banyak orang.
Sesaat pimpinan sekolahku memegang gelas besar minumnya, sebuah gelas berisi teh manis kekuasaan. Kulihat dari tempatku duduk, ia meneguk sedikit isinya untuk mengusir rasa dahaga. Di detik berikutnya, ia membicarakan akibat buruk Ujian Nasional. Kata-kata itu mengingatkanku, sebuah peristiwa masih menggores tentang pengumuman ujian.
Aku sudah malas menghitung, ini SMS yang ke berapa kali. Pesan singkat dari anak didikku semuanya bernada bertanya. Semua ingin tahu. Ada pertanyaan polos, meminta, dan ada pertanyaan menghakimi. Beberapa SMS sudah kubalas, selebihnya kubiarkan terbang bersama angin atau bahkan membeku di dalam ponselku.
“Pak, ada yg gak lulus ya?”
“Pak Budi, sy lulus gak?”, bunyi SMS yang lain.
“Pak, qt lulus smua kan?”, banyak lagi SMS senada. SMS dengan bahasa anak muda. Cos menggantikan kata karena dari kata because, tq sebagai ucapan terima kasih, qt singkatan dari kita, i menggantikan kata saya, schol menggantikan kata sekolah, menghilangkan huruf vokal seperti pada kata semua menjadi smua, skrg menggantikan kata sekarang, u berarti untuk, dan banyak lagi singkatan gaul versi mereka.
“Qt tunggu sj bsk jam 8 ya ...”, aku mencoba menjawab salah satu pesan singkat yang barusan masuk dengan bahasa SMS gaya mereka.
“Oh ya mas, tadi ada murid penjenengan kemari. Daning dan Ajeng”, suara istriku menghentikan gerak jemariku menekan tombol ponsel.
“Nggak nyinggung-nyinggung pengumuman ujian kan?”
“Nggak. Mau ngopi foto-foto perpisahan OSIS di Pacitan tahun lalu. Saya suruh cari sendiri file di komputer, dia nggak mau. Daning titip flash disk ini”
“Suruh ngopikan?”
“Iya. Tapi, dia tadi sudah minta maaf kalau ngrepotin. Daning dan Ajeng lama juga kok menunggu penjenengan. Sekalian Daning mau pamitan. Katanya ia mau pergi setelah lulus ujian”
“Kemana?”
“Aku nggak enak mau nanya. Paling ke Jakarta”, Istriku menutup pembicaraan karena kudengar Titto, anak pertamaku memanggilnya.
Daning akan ke Jakarta? Apa nggak ngelanjutin kuliah? Entahlah. Anak-anak memang begitu. Kadang-kadang mereka berpikir sekolah itu pekerjaan sia-sia. Bayar mahal, cari pekerjaan sulit juga. Itu fakta, katanya. Suatu kali Daning pernah secara kritis protes padaku. Mengapa kehidupan di Indonesia semakin susah. Ia pesimis Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan ini. Aku sudah terbiasa dengan nada protes anak-anak OSIS seperti Daning. Aku ingat betul. Waktu itu, protes Daning kujawab di depan anak-anak OSIS yang lain dengan nada bicara seorang diplomat.
“Saya, yakin suatu saat Indonesia akan bangkit”.
“Mengapa pak Budi yakin”
“Suatu saat nanti pemimpin negeri ini adalah kalian. Tinggal kalian. Mau korupsi atau tidak? Selama kalian tidak mau melakukan KKN, itu artinya Indonesia akan bangkit dari keterpurukan”, jawabku waktu itu.
Aku melangkah mendekati meja kerjaku. Kutaruh ponselku di sana. Baru saja kuletakkan, seketika ponsel itu bergetar dan mengeluarkan nada memanggil. Aku sudah siapkan jawaban diplomatis, dari sebuah pertanyaan yang meminta kepastian. Ternyata telepon dari temanku yang mengabarkan bahwa dirinya juga kebanjiran SMS. Dia sepakat denganku untuk tidak mematikan hp karena banyaknya SMS dan telepon yang masuk. Kasihan nanti anak-anak frustrasi, bila setiap bel gurunya, ponsel selalu tidak aktif. Yang penting tidak memberi tahu kalau ada siswa yang tidak lulus.
Baru saja aku menutup perbincangan, sudah ada empat pesan singkat lagi masuk ke ponselku beberapa menit dalam pembicaraan kami. Tiga SMS isinya relatif sama. Berarti aman untuk tidak dijawab. Selain hemat pulsa, aku cukup takut bila tergelincir berbicara. Ini bisa berbahaya. Karena hampir semua anak punya ponsel. Sedikit rahasia terbuka sudah pasti menyebar kemana-mana. Apalagi ini hari belum malam benar. Waktu yang belum melewati batas etika untuk saling memberi kabar tentang pengumuman kelulusan.
Ketika kubaca pesan singkat yang keempat, aku sangat tergelitik. Ia tidak bertanya, tapi cukup menarik untuk kusimak.
“Esok jangan datang ke rumah ya pak. Datang aja tiga bulan lagi ketika saya menikah. Gitu ya ... pak, please. Biar saya gembira”.
Ajeng, nama siswa yang barusan SMS, ia memang gokil tapi cerdas dan kritis. Ajeng teman dekat Daning. Ia salah satu siswa yang kalau SMS tidak pernah menggunakan bahasa singkatan. Tidak gaul atau karena ia banyak uang? Aku juga nggak tahu alasannya. Sepertinya tidak hanya Ajeng yang berharap agar aku tidak datang ke rumah. Bila aku datang berarti membawa kabar duka, begitu anggapan mereka.
Kurasakan waktu berjalan lambat. Sebenarnya anak-anak yang akan menerima pengumuman bukan aku. Tapi, aku cukup bete juga. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewatnya delapan belas menit. Aku harus segera tidur. Aku tidak boleh terlambat bangun. Pagi-pagi benar aku harus mengantarkan pengumuman tidak lulus, tapi bukan pengumuman kematian seperti yang anak-anak bilang.
*****
Dini hari ku terbangun tidak sesuai rencana. Baru jam tiga lewat sepuluh menit. Kurasakan tidurku sedikit tak nyenyak. Kembali kuraih ponsel. Ada simbol pesan masuk di sana. Dua pesan singkat dari nomor yang sama.
“Kalo nanti Daning gak lulus, berarti Daning tlh mjadi cermin yg buram bg adik2 OSIS. Daning gak tahu, msh bolehkah mrk mngikuti kgiatn OSIS smentara Daning seniornya tidak bs mjadi contoh yg baik. Karna tdk lulus ujian”.
SMS pertama tertulis pukul 02.23. Yang kedua ditulis sepuluh menit kemudian.
“Sorry bgt, Daning mganggu pak Budi. Kalo Daning gak lulus mohon dmaafkn ya pak!”
Daning, salah satu siswa yang tidak setuju Ujian Nasional diadakan. Itu kudengar ketika ia terlibat dengan Ajeng teman akrabnya di OSIS.
“Unas itu kejam”, katanya pada waktu itu pada Ajeng.
“Nggak juga tuh, menurutku dengan Unas teman-teman jadi mau belajar”.
“Bener lho, di Republik Intimidasi ini mana ada siswa mau belajar kalau kelulusan sekolah selalu seratus persen”, Ajeng melanjutkan.
“Kok Republik Intimidasi Jeng, nggak salah ...”, Daning sedikit protes.
“Lho, itu kan istilahnya pak Budi. Ya, kan pak ...”, tanya Ajeng padaku saat aku melintas dan aku harus berhenti sejenak karena Daning penasaran ingin tahu.
“Gimana to pak maksudnya?” Aku cukup mendengarkan dengan sedikit senyum karena Ajeng menjelaskan hal tersebut dengan gaya yang sedikit lucu.
“Gini lho sobat manisku. Coba kamu ingat-ingat aja. Ketika guru memberi tugas saat jam kosong. Kalau ada perintah dikumpulkan, gimana? Tugas itu dikerjakan dengan sungguh-sungguh kan? Karena kita-kita tahu akan dinilai. Tapi kalau tugas itu tidak diikuti kata dikumpulkan, kita-kita ngerjakannya santai. Ujung-ujungnya nggak selesai. Ya ... nggak? Tahu maksudnya?”, Daning hanya diam. Dalam pandanganku ia belum mengerti benar.
“Itulah Republik Intimidasi. Parodi yang pas untuk negeri ini. Sebuah negeri yang mau bergerak bila situasi sudah kepepet. Gitu lhoh Ning”. Sekarang Daning baru mengangguk, tanda mengerti.
“Tapi aku tetap berpikir bahwa Unas tidak manusiawi”, bilang Daning di detik berikutnya. Diskusi tentang Unas kembali ramai. Padahal hanya dua orang. Daning dan Ajeng.
“Kamu kok sentimen amat dengan Unas?”
“Gimana bisa dikatakan manusiawi, kalau kelulusan hanya ditentukan oleh hasil ujian pada satu waktu. Kita capek-capek belajar tiga tahun tidak dihargai. Coba kamu pikirkan, hanya gara-gara malamnya seorang siswa tidak bisa belajar karena tidak enak badan. Siswa ini harus tidak lulus ujian. Ini fakta. Nilai-nilai ulangan, mid semester, atau nilai yang lain tidak bisa menolong siswa tersebut”
“Tapi Unas mujarab lho Ning, lihat sekolah kita. Karena kemarin ada yang nggak lulus tujuh, mereka jadi sadar mau belajar. Iya kan ...” Ajeng mencoba meyakinkan.
“Nah, terbukti kan kata-kataku. Bahwa kita ini hidup di Republik Intimidasi. Lihat di sana banyak orang mau bergerak setelah ada korban. Coba tahun lalu sekolah kita lulus seratus persen, pasti banyak yang apatis dengan Unas. Jadi, Unas itu perlu Ning”.
“Nggak juga Jeng, Unas bukan satu-satunya solusi supaya siswa mau belajar. Menurutku yang paling tepat, kelulusan ditentukan oleh sekolah masing-masing”
“Siapa bisa tanggung Ning, kalau sekolah-sekolah diberi kewenangan bisa berlaku jujur”.
“Itu kan prasangka buruk .... “
“Ning, waktu telah membuktikan. Tahun-tahun kemarin kelulusan diserahkan pada pihak sekolah. Semua orang lihat bahwa sekolah meluluskan siswanya seratus persen tak peduli ia pandai atau bodoh. Itu fakta, bukan prasangka buruk”, ujar Ajeng berapi-api tapi tetap bersahabat.
“Nah, mulai seru nih”, godaku ketika mendengarkan mereka berdebat.
“Menurut pak Budi, gimana?” Tanya Ajeng.
“Menurutku pendapat kalian benar semua. Kalian cerdas deh ...”
“Nggak gitu dong pak, pak Budi harus punya pilihan. Setuju atau menolak”.
“Oh, gitu ... saya nggak setuju kalau Unas sebagai penentu kelulusan”
“Alasannya ...”
“Sama dengan alasan Daning. Karena Unas itu tidak sejalan dengan kurikulum yang diberlakukan. Tahu kan, apa yang dikehendaki kurikulum sekarang. Yang diukur dalam belajar itu tidak hanya aspek koqnitif saja. Unas cenderung hanya mengukur aspek kognitif, sedangkan aspek afektif dan psikomotor terabaikan”.
“Aspek psikomotor kan bisa dituntaskan di semester I kelas XII pak”, Ajeng mendebat cerdas.
“Benar Jeng, pendapatmu. Tapi kalian sadar kan bahwa ketika memasuki semester II sekolah kalian seolah berubah menjadi bimbingan belajar? Dan, banyak kelemahan-kelemahan lain yang menyertai diadakannya Unas”.
“Kalau kelulusan diserahkan sekolah, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang berlaku curang pak” Ajeng belum mau menyerah.
“Biarin aja mereka nggak jujur. Seleksi alam akan terjadi kok. Sekolah yang meluluskan siswanya seratus persen tanpa diikuti kualitas akan menuai hasilnya”
“Maksud pak Budi?”
“Gini lho, buat apa sekolah itu selalu meluluskan seratus persen tiap tahunnya kalau tidak satupun anak didiknya diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan selalu kalah bersaing ketika memasuki bursa kerja”
“Oh ....”
“Nah, disinilah orang tua siswa akan memilih. Sekolah mana yang tepat untuk anaknya. Sekolah yang tidak mementingkan kualitas akan ditinggalkan peminat, begitu kan ....?” Aku gembira sudah melerai perdebatan mereka. Mereka juga tampak gembira karena saya telah memilih dengan argumen yang bisa mereka logika.
“Mas .... sudah bangun?”
Suara serak istriku yang terbangun membuyarkan lamunanku.
“Ada SMS lagi?” tanyanya penuh peduli.
“Ada”, jawabku singkat.
Istriku meninggalkan kamar menuju dapur. Seperti biasanya ia memanasi air untuk minum dan mandi pagi ini. Terdengar olehku ponsel bergetar. Tanda ada pesan singkat lagi yang masuk. Daning lagi. Padahal dua pesan singkat beberapa waktu lalu belum aku balas. Aku merasakan bahwa Daning tidak tidur malam ini.
“Kalo Pak Budi ke rumahku pagi ini, Daning ikhlas kok. Pak, waktu ujian Daning tdk bisa mngerjakn Biologi. Gak th knapa tiba2 kpalaku pusing”
Aku bingung dengan mantan sekretaris OSIS ini. Kubalas pesan singkatnya dengan hati-hati.
“Ning, bdoa aja. Tuhan slalu mberi yg tbaik u qt”.
“Ya Pak mksh. Mhn maaf Daning sdh mganggu Pak Budi”.
Ini yang membedakan Daning dengan anak-anak yang lain. Walaupun ia sangat dekat denganku tapi ia tidak merajuk ingin tahu lulus atau tidak.
Adzan berkumandang. Setelah salat, aku bergegas mandi. Aku harus semangat pagi ini walaupun sebenarnya hatiku sedih. Karena akan mengantarkan sebuah keputusan memilukan. Tidak lulus ujian.
Aku sampai pada sebuah desa yang menjadi tujuanku. Ternyata jauh juga rumah anak didikku ini. Aku jadi mengerti, mengapa anak-anak sering terlambat bila mengikuti jam tambahan pagi. Jam enam lima belas menit anak-anak harus tiba di sekolah. Ternyata itu cukup menyulitkan bagi mereka. Seorang guru konseling menemani tugasku pagi ini. Sebuah harapan, ia lebih bisa menghibur anak didikku yang tidak lulus.
Aku memutuskan untuk bertanya pada penduduk desa agar tidak tersesat. Bertepatan dengan sepeda motor kami berhenti di depan warung, ada seorang gadis yang lari buru-buru meninggalkan warung. Cara lari gadis tersebut sangat tergesa dan tidak biasa. Pemandangan itu membuat diriku sedikit penasaran.
“Numpang tanya bu, bener ini desa Lengking”
“Bener Pak, ada apa?”
“Rumahnya Narsi sebelah mana ya Bu?”
“Narsi anaknya pak Darso. Narsi yang orangnya kecil? rambutnya lurus sebahu?”
“Benar bu”
“Itu … desa sebelah”.
“Nah, itu tadi yang lari teman sekolahnya. SMA mana gitu. Oh ya, Slogohimo”
“Ya, bu kami gurunya”
“Oh, gurunya .... Memang ada apa dengan Narsi”
“Nggak ada apa-apa bu .... Oh ya, tadi yang lari siapa namanya Bu. Katanya murid saya?”
Aku mencoba mengalihkan perhatian. Yang sebenarnya aku juga tidak paham siapa gadis itu. Karena pandanganku tadi terhalang helm yang masih tertambat di kepalaku. Selain itu, aku juga takut rahasia pengumuman ini ketahuan. Maklum masyarakat desa. Ada berita sedikit saja bisa cepat tersebar kemana-mana.
“Anggraeni”
“Rumahnya dekat bu dari sini?”
“Kalau lewat tegalan, dekat. Jalan yang sempit ini yang dilewati Anggraeni tadi. Jalannya belok-belok, naik turun. Pak guru lewat yang situ saja. Jalannya dapat dilewati sepeda motor. Tapi ya cukup jauh, melingkar, tiga kilometer lah kira-kira”
“Berarti saya lewat mana ya Bu?”
“Kemana? Ke Narsi atau Anggraeni?”
“Ke rumah Narsi”
“Oh, gitu. Desa Lengking Selatan yang sebelah sana. Perempatan tadi ke kiri. Nanti setelah melewati sawah, desa pertama itu desanya Narsi. Bapak tanya saja rumah pak Darso. Banyak yang tahu kok”
Beginilah kultur desa, tetangga desa saja saling kenal. Dan, ternyata desa Lengking ada dua hanya kelurahannya berbeda. Aku teringat lagi nama Anggraeni. Dan, kenapa harus lari kalau lihat gurunya. Malu karena belum mandi atau ada masalah lain? Anggraeni, siswa kelas berapa ya? Aku mencoba bertanya sama temanku. Ia juga menggeleng tidak begitu paham.
Aku mohon diri. Belum sempat sepeda motor dibunyikan dan baru saja aku selesai menyarungkan helm di kepala, terdengar suara keributan di lereng tak jauh dari warung tempatku berdiri.
Sayup-sayup kudengar kabar, ada yang bunuh diri. Siswa SMA. Perempuan. Ia memilih mati karena tidak lulus ujian.
“Jelas bukan Narsi yang bunuh diri”, Bisikku dalam hati, menghibur diri. Karena pengumuman tidak lulus belum sampai di tangannya. Masih dalam genggaman saya.
Aku sedikit bingung. Sebenarnya apa yang terjadi? Pemilik warung kulihat buru-buru menutup warung miliknya. Orang-orang lalu lalang. Beberapa orang berlari. Tidak sedikit yang setengah berlari menuju lereng tempat kabar kematian bunuh diri berhembus.
Penasaranku memuncak. Kulepas helm di kepala. Kucoba bertanya. Setiap kali ditanya mereka malah menunjukkan jalan menuju ke rumah duka dengan sikapnya yang ramah. Tak ada cara lain untuk menjawab penasaranku dengan mendatangi rumah yang orang-orang tunjukkan. Disitulah jasad siswa yang dikabarkan bunuh diri disemayamkan.
Aku sampai di rumah itu. Benar, ada duka cita di sana. Seseorang menghampiriku.
“Bapak gurunya Anggraeni?”
Aku bingung. Anggraeni? Belum luruh kebingunganku. Laki-laki itu kembali berbicara kepadaku.
“Semua telah terjadi Pak, dan itu takdir dari-Nya. Anggraeni telah pergi untuk selamanya”
Aku semakin bingung. Tampak sekali oleh mereka kebingungan itu.
“Saya luruskan beritanya. Ia tidak bunuh diri tapi kecelakaan.”
“Sebentar pak, saya benar-benar tidak mengerti ....”
“Ya pak, kami tahu ... nanti kita bicarakan di dalam.”
Bagaimana mereka tahu kebingungan hatiku. Aku bingung bukan karena mengapa Anggraeni meninggal? Aku bingung karena belum terjawab siapa sebenarnya nama Anggraeni itu.
Jantungku terasa benar-benar berhenti, ketika melihat foto di depan jenazah kaku itu. Daning? Sekarang aku tahu Anggraeni itu Daning. Ya, Daning AP, yang di rumah orang-orang memanggilnya Anggraeni. Aku selalu mengingatnya sebagai Daning. Yang sering aku parodikan sebagai Daning Air Putih bukan Daning Anggraeni Putri, nama yang sebenarnya.
Ia benar-benar Daning. Daning yang sepertiga malam tadi mengirim tiga pesan singkat ke ponselku. Meleleh ari mataku, tak terbendung.
Orang-orang memperhatikanku.
Aku semakin sedih dan merasa berdosa ketika lelaki kharismatik itu menceritakan kronologi kecelakaan yang menimpa Daning. Menurut lelaki itu, Daning jatuh tergelincir ke jurang dan kepalannya membentur batu. Seorang tetangga melihat Daning sekitar pukul enam buru-buru pulang dari warung karena melihat gurunya akan datang ke rumah mengantarkan pengumuman. Dan, gurunya itu aku.
“Benar Anggraeni, ponakan saya tidak lulus Pak?” Tanya bapak itu tanpa adanya sebuah emosi.
“Saya memang membawa pengumuman tidak lulus Pak, tapi bukan atas nama Daning. Bukan Daning Pak yang tidak lulus. Maafkan saya”.
Suaraku tersendat.
Laki-laki itu ternyata pakde-nya Daning. Ia menjelaskan peristiwa sebelum kecelakaan itu terjadi. Daning melintas di rumah pakde-nya sambil menangis. Sambil berlari. Ketika ditanya katanya ia tidak lulus. Dua gurunya sebentar lagi akan datang ke rumah mengantarkan pengumuman.
“Saya yakin Anggraeni tidak bunuh diri. Siapapun orangnya kalau terjatuh ke sungai berbatu dan tidak berair kemungkinan juga bisa meninggal” Keluarga yang lain menegaskan. Tak sedikit pun ada nada menyalahkan.
Aku menjelaskan kepada keluarga Daning bahwa Daning lulus ujian. Untuk meyakinkan mereka, kutunjukkan nilai Ujian Nasional seluruh siswa. Ada tiga siswa yang tidak lulus ujian. Nilai itu memang sengaja kubawa. Dalam daftar tersebut Daning dinyatakan lulus. Nilainya rata-rata bagus. Nilai biologi pun tidak begitu buruk. Walaupun menurut pengakuannya, ia tidak bisa mengerjakan dengan baik mata pelajaran tersebut.
Siang itu keluarga besar sekolahku datang melayat. Banyak diantara para pelayat yang membicarakan tentang keputusan sekolah menyampaikan pengumuman ke rumah bagi siswa yang tidak lulus. Aku harus menebalkan telinga mendengar opini mereka, pro dan kontra. Semua juga menyesalkan tapi tidak menyalahkan, kenapa Daning ceroboh mengambil kesimpulan ketika aku tanya di warung pagi tadi. Aku pun tidak berpikir kalau keberadaanku di warung tadi menyebabkan tewasnya Daning.
Aku pegangi flash disk yang berisi foto kenangan perpisahan anak-anak OSIS. Foto yang dimintanya dan akan kuserahkan bila bertemu di sekolah nanti. Sekarang aku tidak tahu kepada siapa flash disk ini akan aku serahkan. Karena, Daning tak akan pernah lagi datang ke sekolah. Hari ini dan nanti.
Memilukan.
Ternyata kedatangan Daning ke rumah kemarin benar-benar untuk pamitan. Sungguh aku tidak menyangka bahwa apa yang dikatakan anak-anak menjadi sebuah kenyataan. Pengumuman yang kubawa tidak lebih sebagai pengumuman kematian.
“Terima kasih Bapak Ibu. Kita tutup rapat dinas kali ini dengan ucapan hamdallah bersama-sama”
Suara pimpinan sekolah membuyarkan lamunanku. Meluruhkan kepedihanku. Ia menutup rapat dinas tentang Ujian Nasional yang kebijakannya sudah berubah. Tapi, kematian Daning tidak bisa diubah oleh siapapun.
- Selesai –
Slogohimo, Januari 2011
BIODATA PENULIS
Nama : SUMANTO, S.Pd.
Tempat, tanggal lahir : Sukoharjo, 5 Juli 1968
Pekerjaan : Guru Bahasa Indonesia
Unit Kerja : SMA NEGERI 1 SLOGOHIMO
Alamat Kantor : Jalan Raya Slogohimo – Purwantoro Km. 1
Kode Pos 57694 Slogohimo, Wonogiri, Jawa Tengah.
Telepon Kantor : (0273) 412589
Alamat Rumah : Gondopolo RT 002 RW 003, Klunggen, Slogohimo,
Wonogiri, Jawa Tengah.
NO. HP : 081329465056