Karena Ibuku Perempuan
Oleh : Sumanto, M.Pd.
Aku terjebak lagi dalam perkumpulan orang-orang dewasa. Arisan keluarga sekolah ibuku telah mengurungku di sini. Tidak banyak anak seusiaku yang ikut serta dalam acara yang diselenggarakan tiga bulan sekali itu. Keharusan ikut serta bersama ayah dan ibu selalu terjadi semenjak kakakku pindah ke kota demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Aku seolah menjadi anak tunggal di keluargaku. Hal itu yang menjadi alasan ibu, selalu membawaku kemana saja ayah dan ibuku pergi.
“Kamu perempuan, ibu ndak tega kamu di rumah sendirian”.
Begitu ibu selalu beralasan. Kelas VI SD, rasanya belum cukup bagi ibu untuk melepasku di rumah sendirian. Padahal ada bi Minah yang siap menemaniku. Rasanya ibu terlalu berlebihan dengan diriku yang perempuan. Aku ibarat pakaian yang tak boleh kotor oleh hembusan debu dan angin. Dijaga biar tak pudar oleh panasnya terik matahari. Jadi, perempuan di mata ibuku harus selalu dilindungi.
Tiba saatnya pertemuan itu pada acara makan bersama. Sebuah meja besar dengan banyak pilihan lauk ada di sana. Setumpuk piring berdekatan dengan tempat nasi yang cukup besar. Di sebelahnya ada sendok dan garpu yang jumlahnya sudah disesuaikan dengan jumlah piring yang dibutuhkan.
Agak jauh dari meja itu, air mineral berbentuk gelas tertata rapi menyerupai candi. Buah jeruk dan semangka menemani biar tak kesepian. Mangkuk-mangkuk berisikan es buah segar telah menunggu orang yang berminat untuk mengambilnya. Aku lihat antrian bapak-bapak sudah sedemikian panjang memenuhi dua meja itu. Seperti biasanya, perempuan selalu mendapatkan giliran berikutnya.
“Itu, namanya prasmanan”, ibu berbisik padaku.
Aku hanya tersenyum.
Lama juga menunggu giliran, kurasakan. Penantian ini membawaku pada situasi yang sama beberapa bulan yang lalu. Pernah suatu kali, aku diajak ibu datang ke tempat perjamuan perkawinan. Aku duduk bersebelahan dengan ibu dan tamu-tamu perempuan yang lain. Waktu itu, minuman dan makanan dihidangkan oleh pramusaji bukan prasmanan seperti sekarang.
Aku ingat betul peristiwa waktu itu. Etika minum diajarkan ibu padaku. Ketika tangan kananku mengangkat gelas minuman, jari-jariku tidak boleh menyentuh bibir gelas. Aku diminta meminumnya sedikit demi sedikit tanpa adanya suara yang dikeluarkan.
“Tidak boleh minum dalam satu tegukan walaupun dalam kehausan”.
“Karena yang demikian tak lebih dari cara minum seekor onta di padang pasir yang panas dan gersang”.
Nasihat ibu disampaikan padaku sangat perlahan.
Ibuku juga mengajari etika makan dalam perjamuan padaku. Aku tidak habis mengerti sewaktu ibu meminta menyudahiku makan. Sementara nasi dan lauk di piringku masih banyak tersisa. Aku lihat orang-orang juga melakukan hal yang sama. Ketika aku berniat untuk menghabiskan, ibu bilang itu nggak sopan. Hatiku berontak, walaupun tanganku juga menuruti dan piring kuletakkan.
“Di acara jamuan bila orang lain telah menyudahi kegiatan makannya, kita juga harus rela meletakkan piring di atas tangan kita”.
“Sekalipun masih ada banyak nasi dan lauk tersisa di sana?” nada protesku muncul seketika.
“Begitulah tradisi kita. Nenekmu dulu juga mengajari ibu demikian”.
Tak perlu rasanya mendebat ibu. Walaupun ada nasihat yang seharusnya perlu kutanyakan. Karena di sekolah, guru agamaku menasihati untuk tidak menyisakan butiran nasi bila sedang makan.
“Jangan pernah sisakan nasi bila kau makan. Siapa tahu ada barokah di butiran nasi terakhir yang kau sisakan. Menyisakan nasi adalah perbuatan tabdzir, sedang mubadzir itu termasuk saudara syetan”.
Nasihat itu masih terngiang di telingaku. Di rumah pun ketika aku makan, ibu juga meminta untuk tidak menyisakan nasi. Walaupun alasannya berbeda dengan guru agamaku di sekolah.
“Kita bisa makan nasi karena jerih payah dan keringat kita. Siapa yang akan menghargai tiap tetes keringat kalau bukan kita sendiri”.
Tapi yang membuatku sedikit bingung, di tempat perjamuan ibuku lebih suka memegang teguh tradisi dari nenek moyangku. Itu pun tidak hanya terjadi pada ibu. Di setiap perjamuan yang pernah kulihat, setiap orang yang makan selalu menyisakan nasi di piringnya. Padahal kalau mau jujur, perut juga belum kenyang benar. Dan, piring itu harus diletakkan karena perasaan pakewuh telah mengakar di hatinya. Betapa tidak hematnya orang Jawa. Berapa uang yang terbuang percuma ketika orang punya acara jamuan.
“Intan, ayo makan!”
Aku terkejut ketika ibu mengajakku berdiri untuk menuju antrian. Lamunan tentang tradisi nenek moyang, jatuh berkeping berserakan.
Antrian itu kurasakan sedikit berdesakan dan tubuh mungilku tenggelam di dalamnya. Ibu kembali mengingatkanku tentang etika makan dalam prasmanan. Aku cukup mengangguk karena aku berdiri tepat di hadapan ibu, sehingga ibu bisa dengan jelas melihatku.
Memang pagi tadi, ibu sempat bernasihat padaku. Aku diminta mengambil nasi seperlunya. Ibuku juga bilang, lauk yang beragam terhampar di meja untuk dipilih sesuai selera. Tak perlu aku mengambil semuanya.
“Tapi, Intan pernah lihat. Ada orang yang mengambil lauk berbagai jenis hingga penuh piringnya. Berarti itu salah?”
“Bukan salah Intan, tapi belum mengerti saja”.
“Sudah tua kok belum mengerti?”
“Nah, keluar protesnya!”
“Kamu itu perempuan. Besok menjadi seorang ibu juga. Seorang ibu harus bisa menjadi mudarrisah bagi anak-anaknya”, Ibuku menutup pembicaraan.
Aku bingung mencerna kalimat terakhir ibuku. Sebuah nasihat yang maknanya benar-benar belum bisa kupahami.
Sampai juga pada giliranku untuk menuang nasi. Ibu memandangku. Pandangan mata yang sarat makna. Sebenarnya aku risih juga, selalu diawasi dengan cara begini. Tapi, bagaimanapun ia adalah ibuku. Ibu bersikap begini karena ia sayang padaku. Karena ibuku perempuan.
Nasi dan lauk selesai kutuang dipiringku. Aku kembali duduk dan makan sesopan yang ibuku ajarkan. Bersamaan dengan tamu yang lain piring kuletakkan tanda makan telah selesai. Ibuku tersenyum memandangku. Senyum dengan rasa penuh berkenan.
Aku masih duduk berdampingan dengan ibuku, kulihat laki-laki seusia ayahku akan menutup acara dengan kalimat doa. Sebelum acara dibubarkan, aku berbisik sangat perlahan.
“Lihat Ibu, tak ada butiran nasi tersisa di piringku”.
Tangan kanan ibu merangkulku dengan penuh rasa sayang. Ada udara hangat mengalir di hatiku, damai perasaan.
--o Selesai o--
Slogohimo, Februari 2
KAMUS KECIL
barokah à berkah : karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia
mubadzir : orang-orang yang boros
mudarrisah : pengajar perempuan
ndak : tidak
pakewuh : isin amargo ora pas karo kahanan (malu karena tidak tepat dengan situasi)
tabdzir : perbuatan boros
0 komentar:
Posting Komentar