Tanda Tangan Wibi
Oleh: Sumanto, M.Pd.
Bingung dan cemas. Sesuatu telah terjadi di sekolahku. Bu Anjar, guru konseling dikabarkan tidak pulang ke rumah sejak kemarin sore. Tidak ada yang tahu. Kemana guru yang masih membujang itu menghilang? Sepertinya rasa bingung sudah terasa di denyut nadi penghuni sekolah. Bingung dan cemas berubah menjadi rasa takut, sehingga rumput hijau di sekolah terasa gersang untuk dilihat.
Bu Anjar memang selalu pulang sendiri dari sekolah. Walaupun, jarak rumah dan sekolah tempatnya mengajar merupakan perjalanan yang cukup melelahkan. Ia tetap memilih sepeda motor sebagai teman rutinitas yang menyenangkan. Jalan naik turun, berkelok kiri kanan tiada henti membuat perutnya mual. Itulah salah satu alasan, kendaraan umum tidak jadi pilihannya.
Kemarin siang, ia pulang setelah ulangan semester selesai dilaksanakan. Pulang seperti biasa. Dengan langkah dan senyum seperti biasa. Sebelum akhirnya dikabarkan hilang.
“Selepas maghrib, memang orang tua bu Anjar telepon saya. Tapi saya pikir, malamnya dia dah kembali pulang”, Bu Tika memecah suasana hening di ruang konseling.
“Nggak cerita sesuatu sebelum pulang?”, tanya pak Adit. Wakasek kesiswaan yang bernama lengkap Aditya Sosiawan.
“Bercerita. Tapi, tak ada yang istimewa. Hanya ia, pernah sms ke ponselku. Seseorang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini”.
“Nah, itu …”, aku tertarik tentang sms bu Anjar ke ponsel bu Tika.
“Ah, itu keluhan biasa bagi orang-orang konseling”, bu Tika tak tertarik dengan kecurigaanku.
Diskusi di ruang konseling berhenti.
Buntu.
Aku keluar ruangan memandangi lapangan basket. Tak ada yang berubah. Sebuah lapangan yang tidak rata benar, tapi cukup nyaman untuk berebut bola. Dinding sebelah utara berdiri kokoh. Bertuliskan ‘Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami’ sebuah kalimat penuh penyerahan diri. Sebelah timur beberapa pohon semakin rindang. Berteduh di bawah rerimbunan daunnya adalah sesuatu yang nyaman dilakukan. Bendera merah putih kelihatannya sedang malas berkibar. Walaupun di dekatnya tertulis kalimat bijak penuh semangat ‘Merah Putih Teruslah Kau Berkibar’.
Suasana hening ujian semester sudah berubah menjadi suasana duka bak kematian. Sebuah masalah mencuat di lingkungan sekolah. Masalah yang bersumber dari orang yang biasa menyelesaikan masalah.
Sementara, titik terang tentang hilangnya bu Anjar belum ditemukan sudah menyeruak masuk ke ruang konseling sebuah masalah baru. Ada seorang anak di ruang sembilan yang tidak mau mengisi kertas ujian. Wibi, nama anak itu.
“Ada yang istimewa dengan anak itu?”, tanya pak Adit pada bu Tika.
“Sebuah sikap yang biasa ditunjukkan oleh Wibi. Aku sampai bosan. Pelajaran biasa saja juga sering mogok”, jawab koordinator konseling itu dingin.
“Oo …”
Lagi-lagi bentuk ketidaktertarikan tergambar dalam sikap bu Tika tentang sesuatu yang menurutku penting dibicarakan. Aku diam saja. Kusembunyikan kecurigaanku tentang seseorang di sms bu Anjar. Dan, Wibi yang berlaku aneh di ruang ujian. Kusadari tugasku sebagai guru konseling yang secara struktural kedudukanku memang masih di bawah mereka.
Baru saja aku berniat meninggalkan ruang konseling, pak Arif datang dengan penuh keyakinan memberi kabar. Ia begitu semangat. Informasi tentang salah seorang guru yang telah lama ditinggal mati istrinya. Guru itu bernama Wahyu, mengajar di SMP beda kecamatan dengan tempat bu Anjar mengajar. Banyak orang tahu guru tersebut akhir-akhir ini dekat dengan bu Anjar.
“Menarik … punya nomer ponselnya?” tanya pak Adit.
“Temanku memberikan info lengkap dengan alamat rumahnya. Hari ini guru itu juga tidak datang ke sekolah”, Jawab pak Arif penuh keyakinan.
Beberapa guru silih berganti menghubungi nomor yang disebut pak Arif barusan. Sementara yang lain mencoba lagi menghubungi nomor bu Anjar. Tidak nyambung semuanya. Pak Arif juga ikutan sibuk di ruang konseling. Bahkan, ia berusaha meyakinkan kepada semua orang bahwa ini logis. Pergi berdua. Kemudian ponsel dimatikan.
Diskusi kembali hangat di ruang konseling dan berhenti ketika pimpinan sekolah masuk ke ruang yang tidak begitu luas tersebut. Sudah menjadi rahasia umum pak Arif suka cari perhatian bila ada pimpinan sekolah.
“Tapi, bu Anjar bukan perempuan yang mudah pergi dengan laki-laki Pak”, bu Tika mencoba membela teman yang sehari-hari duduk tepat di sebelah meja kerjanya. Menurut bu Tika pimpinan sekolah mulai terpengaruh kata-kata pak Arif.
“Saya tidak mengatakan bu Anjar seperti itu. Tapi, kemungkinan itu bisa terjadi”.
Pimpinan sekolah berlalu di detik berikutnya setelah mengakhiri pembicaraan. Sementara, bu Tika sedikit emosi dengan penilaian yang menurutnya keliru tentang bu Anjar.
Bu Anjar bukan tipe perempuan yang mudah menerima kehadiran seorang laki-laki. Ia cukup memilih. Bukan juga seorang perempuan yang mudah dirayu, tidak mudah tergoda oleh harta dan wajah rupawan. Itu dibuktikan ketika beberapa laki-laki berusaha mendekatinya. Semua orang tahu itu. Tapi, anehnya kata-kata pak Arif lebih tajam menggores sehingga nama Wahyu seolah ditetapkan sebagai tersangka tunggal.
Pencarian dimulai.
Mendatangi sekolah dan rumah pak Wahyu adalah target utama. Guru yang dicurigai membawa lari bu Anjar.
Bu Tika tetap di ruang konseling denganku. Ia membuka-buka dokumen dan memeriksa laci bu Anjar. Berharap menemukan informasi penting tentang keberadaan teman dekatnya itu. Sementara aku, lebih suka mencermati data pelanggaran siswa. Ada sesuatu yang menarik. Seorang siswa sering bermasalah. Anehnya ia bermasalah pada saat bu Anjar sedang piket di ruang konseling. Aku semakin terkejut ketika nama tersebut sama persis dengan nama siswa di ruang sembilan bernama Wibi yang dikabarkan malas mengerjakan soal ujian semester. Kusimpan kecurigaanku pada seorang Wibi. Toh, kalau kusampaikan pada bu Tika ia belum tentu juga percaya.
Kudatangi ruang sembilan. Ruang tes yang sedikit penuh muatan. Ada empat puluh siswa di ruangan itu. Kelas XII berdampingan dengan kelas X. Kuamati wajah mereka satu per satu. Begitu juga Wibi, yang tidak mengerti sedang kuperhatikan. Hening membalut mereka yang suntuk mengerjakan soal tes dalam bidikan mata dua guru pengawas ruangan. Pengawas ruangan menjelaskan tentang Wibi yang waktunya hampir habis untuk sesuatu yang nggak perlu.
Buku presensi di meja pengawas kubuka pada lembar yang ada nama Wibi. Lengkapnya Wibi Antoro. Aku menemukan keanehan pada tanda tangan Wibi. Rupanya tanda tangan ini yang kemarin dipersoalkan bu Anjar, sehingga Wibi harus mengerjakan tes di ruang penyelenggara. Sebuah tanda tangan berbau pornografi. Huruf W pada tanda tangan Wibi sengaja dibuat agak besar menyerupai pantat manusia. Nakalnya diujung tiap bulatan itu diberi titik di tengahnya. Anehnya bulatan itu berbeda tiap harinya.
Kembali Kupandangi Wibi. Ketika mataku bertumbuk dengan pandangannya, ia salah tingkah dan gelisah. Dari jauh sepertinya ia menulis. Tapi, yang sebenarnya ia menggambar menumpahkan kegelisahan.
“Saya sudah dihukum bu Anjar. Jadi, cukup. Bapak tak perlu lagi mempersoalkan tanda tangan saya”, Kata Wibi ketika aku menanyakan tanda tangan nakalnya.
“Itu seni, Pak. Tinggal orang menafsirkannya. Kalau Bapak tidak berpikir buruk, tanda tangan itu tidak bernilai negatif”, tambahnya berdiplomasi.
“Kalau orang foto telanjang, kemudian banyak yang menggugat sebagai pornografi. Dan, orang itu menjawab sebagai seni. Kamu bisa menerima pendapat tersebut?”
“Kamu harus bisa membedakan antara seni dan pelanggaran norma”, tambahku sedikit kesal.
Wibi menunduk.
Wibi kuminta ke ruang konseling bila tes jam pertama usai. Sampai jam istirahat tiba, Wibi tak kunjung datang. Aku curiga, ia tidak ingin datang. Informasi yang kudengar, ia mencoba lari dari sekolah melalui pintu belakang.
Wibi kududukkan di ruang konseling. Ia terlihat cemas dan bingung. Raut mukanya menjadi takut ketika mendengar pak Adit akan melaporkan kasus bu Anjar ke kantor polisi. Pak Wahyu tersangka utama kasus hilangnya bu Anjar, turut juga menghilang.
“Apa nggak ada izinnya di sekolah”
“Izinnya ada kepentingan keluarga, sejak kemarin. Rumahnya sepi, terkunci. Tetangganya bilang, pak Wahyu pergi agak siang. Sementara, anaknya sekolah”
“O … tapi tidak buru-buru ke kantor polisi, lebih baik”, pintaku pada pak Adit.
“Bu Anjar hilang kemarin siang, guru itu juga pergi kemarin siang. HP sama-sama dimatikan. Menunggu apa lagi?”
Pak Adit sudah kelihatan nggak sabar. Bagaimanapun aku harus gigih menahannya untuk tidak meluncur ke kantor polisi. Bu Tika dan beberapa guru lain juga sependapat denganku. Sementara, kulihat Wibi mulai menangis ketika dikata-katai oleh pak Adit. Ia dikatakan tukang pembuat masalah. Nggak mengerti keadaan. Sementara sekolah sibuk mencari hilangnya bu Anjar, malah menambah persoalan. Wibi sangat pucat ketika pak Adit melampiaskan kekesalannya dengan menghardik keras dengan tuduhan menculik bu Anjar. Tuduhan yang oleh beberapa orang dikatakan tidak cukup bukti, bahkan emosional.
“Jangan-jangan kamu yang menculik bu Anjar!!!”
Kata-kata pak Adit ini terngiang di telingaku. Sempat juga menebalkan rasa kecurigaanku.
Kuamati cara duduk Wibi yang mulai tidak tenang. Kalau tidak ada pak Arif mungkin ia sudah lari. Aku yakinkan pada bu Tika tentang rasa curigaku. Kusodorkan bukti fisik berupa tanda tangan aneh. Tanda tangan yang tidak wajar untuk anak sekolah, apalagi ia masih kelas X semester I.
“Saya kesal, Pak?” jawabnya ketika kutanya tentang tanda tangannya.
“Kesal, pada setiap guru perempuan yang mengawasi ruangan tes saya”, Wibi menunduk tak melanjutkan kata-katanya.
“Salah apa ibu gurumu. Menegurmu ketika menyontek?”
“Tidak, Pak”.
“Kalau tidak, mengapa kamu tega menggambarnya sedemikian rupa di tanda tanganmu?”
Guru yang berada di ruangan itu dibuat bingung oleh pernyataan Wibi. Pak Adit semakin tidak sabar melihat Wibi yang menurutnya psikopat, tapi diperlakukan begitu baik. Ia semakin geregetan ketika aku dan bu Tika menginterogasi Wibi tanpa adanya sebuah emosi.
“Terus masalahmu, apa …?!!” Tanya pak Adit dengan nada tinggi.
“Saya benci semua perempuan, karena saya benci dia”
“Dia. Siapa?”
“Bu Anjar. Dia tidak pernah mengerti perasaan dan penderitaan saya”
Semua terkejut.
Korden jendela termangu mendengar pernyataan Wibi. Kursi tempat duduk bu Tika semakin sesak nafas, tidak hanya karena kelebihan beban oleh orang yang mendudukinya. Jarum jam yang berdetak berhenti sesaat, seolah pingsan walaupun akhirnya siuman. Dan, dinding ruangan seolah tak percaya dan bingung melihat pengakuan kebencian yang tanpa alasan.
“Kamu cinta sama gurumu?”
“Tidak.”
“Wibi … lihat mataku. Lihat semua penghuni sekolah ini cemas dengan hilangnya bu Anjar”.
“Pak Adit, Sabar”, bu Tika mencoba menenangkan pak Adit.
“Benar, kata pak Adit kamu menculik bu Anjar?” tanyaku
“Tidak.”
Tangan pak Adit melayang di pipi Wibi. Wajah guru berbodi atletis itu memerah. Wibi berurai air mata. Menunduk tidak melawan. Sementara di luar ruangan banyak anak berkerumun, penuh bisik karena penasaran. Pak Arif menghalau mereka. Semua pergi menuju ruang tes masing-masing karena sebentar lagi jam istirahat usai. Kembali kutanya Wibi di detik berikutnya.
“Kamu tidak menculik bu Anjar, tapi tahu bu Anjar di mana?”
“Sepulang sekolah kemarin, aku benar-benar sedih dan termangu di tepi jalan. Bu Anjar menghampiri dan menghantar saya pulang. Sesampai di rumah, bu Anjar menangis mendengar cerita hidup saya. Sampai sore ia masih di rumah”.
Wibi berhenti bercerita. Ia meremas-remas tangannya. Lalu menangis.
“Saya takut …” hanya dua kata yang keluar dari mulut Wibi setelah semua lama menunggu.
“Takut kenapa? Bu Anjar terus ke mana?”
“Saya takut kehilangan bu Anjar, sehingga saya menyanderanya ….”
Wibi menangis sejadi-jadinya.
Ia benar-benar takut.
“Jadi, bu Anjar sekarang di rumahmu?”
Wibi mengangguk. Sambil menyerahkan HP milik bu Anjar yang telah tidak bernyawa.
Semuanya lega. Diputuskan berangkat menjemput bu Anjar ke rumah Wibi. Tapi, Wibi kembali menangis dan tak mau beranjak dari tempat duduknya. Hanya dua kata, “saya takut” yang berulang-ulang diucapkannya.
“Kamu Nggak usah takut. Bu Anjar benar-benar di rumahmu kan? Kamu tidak bohong?”
Wibi hanya mengangguk.
“Nha … kenapa kamu takut?”
“Ia sudah mati”.
Semua panik.
Jam dinding mati suri. Detaknya berhenti. Beberapa orang lalu lalang di koridor sekolah. Daun-daun di depan ruang konseling seperti luruh. Dinding kokoh lapangan basket semakin bisu, kaku. Kibasan bendera di halaman seolah minta diturunkan menjadi setengah tiang. Kabar kematian bu Anjar, sayup-sayup sampai di setiap sudut sekolah. Meski belum semua mendengarnya.
Koordinasi dilakukan dengan cepat.
Tes ulangan semester tetap dilanjutkan. Semua berharap keterangan Wibi tidak benar adanya. Wibi digelandang menuju rumahnya.
*****
Sampailah rombongan di rumah Wibi. Rumah yang sepi. Tidak ada suara. Rumah yang terpencil. Rumah itu terletak di ujung desa. Jarak antara rumah yang satu dan yang lainnya cukup jauh. Sebelah timurnya persawahan yang begitu luas berbukit. Sekarang rumah itu sudah banyak dikerumuni orang. Kabar tentang ada guru yang meninggal di dalam rumah tersebut cepat menyebar ke penjuru desa.
Suasana mencekam.
Namun, beberapa guru bertanya-tanya dalam hati. Bukankah rumah ini, rumah pak Wahyu yang mereka datangi pagi tadi?
Rumah Wibi terkesan berantakan. Sepeda motor milik bu Anjar diparkir suka-suka di dalamnya. Wibi berdiri termangu di depan pintu kamarnya. Tangannya menunjuk kamar yang lain. Rupanya jasad bu Anjar berada di sana.
Ketika pintu dibuka betapa semuanya terkejut.
Bu Anjar benar-benar telah meninggal. Mati di tangan muridnya sendiri. Kaki dan tangannya terikat. Sangat erat. Mulutnya dibungkam dengan perekat berwarna hitam. Tangis pecah di ruangan itu. Orang-orang yang di luar ruangan sama menunduk, larut dalam kepedihan masing-masing.
Sementara, Wibi entah di mana?
Tiba-tiba, ada suara membangkitkan kesadaranku yang telah beku.
“Dia masih hidup …”
Beberapa guru berhenti menangis. Orang-orang di luar berebut untuk masuk. Tapi dihalau polisi dan beberapa tokoh masyarakat di desa tempat tinggal Wibi.
Guru konseling itu dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Nyawa bu Anjar terselamatkan. Kegembiraan membuncah, terpancar di raut muka semua orang yang hadir di tempat itu. Nada syukur bergantian terucap. Pembunuhan tidak benar-benar terjadi di desanya. Sehingga mereka tidak perlu takut kalau harus melintasi rumah tersebut malam-malam ketika giliran air sawah mereka dapatkan.
Rasanya kegembiraanku muncul bersamaan dengan perasaan cemas tentang keberadaan Wibi. Bu Tika tidak bedanya dengan aku. Sama-sama cemas. Takut kalau Wibi lebih memilih mati, untuk mengakhiri penderitaan hidupnya. Sambil meneriaki nama Wibi, aku dan beberapa guru mencari setiap sudut ruangan yang sebenarnya sangat asing untuk menemukan seorang Wibi.
“Mas, guru. Biasanya kalau nak Wibi marah selalu sembunyi di kamar ibunya”, Suara seorang nenek menghentikan pencarianku.
“Kamarnya yang ujung, tertutup itu. Ia selalu begitu sejak ibunya meninggal. Pak Wahyu sampai bingung …”
“Lhoh, ini memangnya rumah pak Wahyu yang guru SMP itu ya mbah?”
“Inggih leres, nak Wibi putranipun” Jawab nenek itu dengan bahasa Jawa yang kenthal.
Wibi ditemukan. Ia benar-benar terpuruk di sudut kamar.
Benar dugaanku. Maunya ia mati saja. Dulu ibunya pergi ketika ia baru menginjak bangku SMP. Sekarang, ayahnya pergi meninggalkannya karena merasa cintanya tak bertepuk. Perempuan yang diharapkan menggantikan posisi belahan jiwanya sekaligus tempat menitipkan anak lelakinya seorang, menolaknya.
“Ayahmu pergi kemana?” tanyaku dalam perjalanan ke rumah sakit.
Wibi diam tak menjawab. Ada sesuatu yang tak ingin ia katakan. Seperti ia menyembunyikan bahwa bu Anjar guru sekolahnya punya hubungan dekat dengan ayahnya. Wibi baru menjawab setelah aku merasa bosan untuk bertanya berikutnya.
“Pergi sementara. Hatinya perih. Bu Anjar menolak untuk menjadi ibuku. Itu yang dikatakannya lewat telepon lima menit sebelum aku masuk kelas”.
Dan, hanya itu yang diucapkannya sepanjang perjalanan ke rumah sakit.
Sampai rumah sakit, sepi yang kutemukan.Tidak ada yang berkata-kata. Beberapa guru dan pimpinan sekolah ada di ruangan itu. Wibi tidak mau masuk apalagi mendekat bu Anjar yang dililit selang infus dan tabung pernafasan. Ia terpenjara oleh rasa bersalah. Semua mata memandangnya tidak bersahabat. Ia duduk agak menjauh dari ruangan itu. Ia teramat risau memikir kisah hidupnya dan hukuman yang akan diterima esok pagi. Ia menyadari telah melakukan kesalahan besar untuk guru dan sekolahnya.
Ketika aku bertanya, seandainya benar bu Anjar tidak bersedia menjadi istri ayahnya? Ia tidak segera menjawab.Tangannya bergerak-gerak di lantai licin rumah sakit. Sepertinya menulis, yang sebenarnya melukis hatinya yang perih. Kemudian ia tengadah. Pandangannya menerawang jauh. Mengembara. Mencoba mencari tempat untuk menyandarkan hatinya yang galau. Tempat yang jauh. Di langit luas yang tidak berbatas. Di sana ia menemukan jawabannya.
Ia memandangku.
“Bagaimana?” tanyaku untuk terakhir kalinya.
“Yang pasti aku tidak akan membunuhnya”.
--Selesai--
Slogohimo, 7 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar