Total Tayangan Halaman

Kamis, 28 April 2011

Dua Hari Terakhir Bersama Dunia

Dua Hari Terakhir Bersama Dunia

Oleh : Sumanto, M.Pd.

Sekolah Titto pulang pagi hari ini. Pukul sepuluh lebihnya 15 menit bel pulang telah dibunyikan. Tak satupun anak yang tidak gembira ketika dipulangkan lebih awal. Demikian juga Titto. Sesuatu yang sederhana dalam pikirannya, pulang dan bermain dengan Dunia. Bermain saat istirahat dengan Dunia di sekolah, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Karena, keduanya tidak satu sekolah.

Dunia adalah teman bermain Titto di rumah, juga sahabat yang baik. Sebaik namanya, Dunia Ari Wibowo. Sebuah nama yang maknanya belum pernah dimengerti oleh yang memiliki. Karena setiap Titto bertanya makna kata ‘dunia’ pada Dunia, ia selalu menjawab dengan jawaban yang sama.

“Tanya saja, sama ayahku”.

Di pintu sekolah, ayah Titto sudah menunggunya. Ia siap membawanya pulang. Salah satu guru di sekolah biasanya memberi kabar ayahnya melalui sebuah pesan singkat, bila sekolah mendadak pulang pagi.

“Kok, Ayah juga pulang pagi?” tanyanya.

Ternyata ayah Titto juga ada keperluan takziyah seperti guru-gurunya.

Kali ini Ayahnya tidak banyak cerita sepanjang perjalanan pulang. Ia lebih banyak diam. Mungkin Ayah Titto sedang sedih karena ada temannya yang meninggal. Perjalanan sepi. Tak ada dialog dan cerita. Rasanya ayah Titto benar-benar menerapkan nasihat yang ditulis di bus antarkota yang pernah dia baca – Dilarang Bicara dengan Sopir.

Tape mobil juga tidak dinyalakan. Sesuatu yang jarang dilakukan. Dalam situasi begini Titto teringat Dunia. Dua hari yang lalu, tiba-tiba Dunia tidak mau makan di rumah Titto. Biasanya kalau main ke rumah, Dunia kadang makan bersama Titto.

“Kenapa Dun, sudah makan di rumah ya …?” Tanya ibu Titto waktu itu.

Dunia hanya diam. Ibu Titto melanjutkan dengan nada menasihati. Sementara dalam hati, Titto mengkritik sikap ibunya yang sedikit aneh. Dunia dibujuk-bujuk makan di rumahnya. Sementara ia kalau bermain, harus pulang ke rumah bila perut sudah terasa lapar. Mungkin hal yang seperti ini juga terjadi pada Dunia.

“Apa dilarang mamakmu kalau kamu makan di sini?”

Kali ini Dunia tetap diam sambil bermain mobil-mobilan milik Titto. Setelah ibu Titto bertanya dengan nada sedikit membujuk akhirnya Dunia mengaku kalau dilarang makan di rumah Titto, oleh mamaknya. Ibunya menasihati Dunia dengan bijak.

“Kamu makan sedikit ya sama Titto. Ini lho lauknya enak. Nanti di rumah makan lagi, biar mamakmu nggak marah. Kan, kasihan mamakmu. Sudah memasak kamu tidak mau makan”.

Titto gembira. Dunia mau lagi makan bersamanya. Nggak tahu kenapa, Titto merasa nyaman bila makan bersama Dunia. Itu pun kadang dilakukannya di rumah Dunia. Demi persahabatan, kadang Titto tak kuasa menolak tawaran makan di rumah Dunia, meskipun Titto ingat nasihat ibunya.

Mobil yang ditumpangi Titto sudah berbelok ke arah tempat tinggalnya. Masih sepuluh menit lagi perjalanan. Untuk sampai ke rumah ada beberapa jalan yang bisa ditempuh. Salah satunya, melewati sekolah Dunia. Titto meminta pada ayahnya untuk melintasi sekolah Dunia, bila lewat nanti. Ayahnya hanya mengangguk. Titto merasakan ayahnya sudah benar-benar seperti sopir pribadi. Diam tanpa kata.

Titto teringat Dunia lagi. Kemarin, Dunia mengembalikan beberapa majalah Bobo yang dipinjam darinya. Katanya sudah dibaca semuanya.

“Benar Dun, sudah dibaca semuanya?”

“Mamakku melarang membawa pulang majalah bobo-mu. Kalau aku pengin baca diminta untuk membaca di sini”.

“Nggak pa pa lho Dun di bawa pulang”, kata Titto penuh ketulusan.

Dunia mengatakan mamaknya tidak setuju ia membawa pulang majalah Titto. Katanya nanti menjadi kebiasaan buruk. Di sisi lain, juga takut kalau mengganggu Titto. Di saat Titto ingin membaca majalah itu, yang dicari ada di tempat Dunia.

Perjalanan pulang sebentar lagi melintasi sekolah Dunia. Titto siap-siap mencermati sekolah tempat Dunia belajar. Ia dulu berkeinginan belajar satu sekolah dengan Dunia. Selain dekat dengan rumah. Rasanya asyik bermain dan belajar dengan Dunia. Tapi, orang tuanya memilihkan sekolah yang menurutnya lebih baik untuk masa depan Titto. Katanya, Titto bisa dapat ilmu agama yang cukup di sekolah tempatnya belajar.

“Asyik, sekolah Dunia juga pulang pagi”.

Teriak Titto kegirangan begitu melihat sekolah Dunia kelihatan sepi. Semua pintu kelas terkunci dan tak satu pun penghuni sekolah terlihat di sana.

“Wah, hebat Pak. Semua pulang pagi. Aku bisa bermain dengan Dunia tanpa harus menunggu ia pulang”.

Ayah Titto tidak mengomentari kegembiraan yang dirasakan anaknya. Ayahnya sekarang lebih mirip seorang sopir yang sedang sakit gigi. Tidak pernah senyum dan pelit ngomong. Hal itu tidak pernah dilakukannya ketika mengantar dan menjemput Titto pulang sekolah.

“Emang, guru-guru Dunia juga takziyah ya Pak?”, tanya Titto sedikit heran.

“Iya kali …”, jawab ayahnya singkat.

Aneh, yang meninggal siapa ya. Kok, semuanya pulang pagi. Pertanyaan itu hadir dalam pikiran Titto.

Perjalanan pulang sampailah sudah. Ada pemandangan yang berbeda di jalanan depan rumah Titto. Beberapa mobil dan kendaraan roda dua terparkir di sana. Titto turun dari mobil. Ia melihat beberapa orang berpakaian hitam-hitam menuju rumah Dunia. Pemandangan yang tak biasa juga terlihat di rumah Dunia.

Ketika masuk rumah, Titto mendapati ibunya sudah menunggunya. Titto mengganti sepatu sekolahnya dengan sandal jepit berwarna merah bata. Seragam sekolah masih ia kenakan. Ibu Titto mengajaknya ke rumah Dunia. Ibunya mengabarkan ada duka di rumah Dunia, tanpa menjelaskan siapa yang meninggal.

Kasihan Dunia, mungkin neneknya meninggal. Karena minggu-minggu terakhir ini, neneknya sakit-sakitan. Ia harus segera bertemu dengan Dunia dan menghiburnya. Ia tahu Dunia sangat sayang dengan neneknya. Ia tidak ingin sahabatnya terlalu larut dalam duka karena kepergian neneknya. Itu yang terpikir dalam benak Titto.

Sampai di rumah Dunia, Titto menyelidik. Dimana Dunia? Biasanya ia selalu gembira melihat kemunculan Titto. Ketika ia bertanya pada ibunya, pertanyaan itu tak terjawab. Ia hanya dituntun masuk ke ruang tamu rumah Dunia. Betapa terkejutnya Titto, ia melihat foto Dunia dan peti mati kecil terbaring di sana.

“Bu siapa yang meninggal?” teriaknya penuh curiga.

Titto meraung setelah orang-orang memberinya kabar, Dunia telah meninggal. Ia tersambar mobil ketika menyeberang jalan di depan sekolahnya. Pagi tadi.

--o Selesai o--

Slogohimo, Januari 2011

0 komentar:

Posting Komentar