Total Tayangan Halaman

Kamis, 28 April 2011

Pengumuman Kematian

PENGUMUMAN KEMATIAN

Oleh : Sumanto, S.Pd.

Januari 2011. Kembali rapat dinas digelar di sekolahku. Ujian Nasional yang telah diubah kebijakannya sedang dibicarakan. Menteri baru dengan kebijakan baru. Itu yang selalu terjadi di negeriku. Kuamati wajah penuh binar di raut muka pimpinan sekolahku. Dari sambutan pembukanya ia kelihatan sangat gembira dengan kebijakan baru Ujian Nasional yang sudah mulai ramai dibicarakan banyak orang.

Sesaat pimpinan sekolahku memegang gelas besar minumnya, sebuah gelas berisi teh manis kekuasaan. Kulihat dari tempatku duduk, ia meneguk sedikit isinya untuk mengusir rasa dahaga. Di detik berikutnya, ia membicarakan akibat buruk Ujian Nasional. Kata-kata itu mengingatkanku, sebuah peristiwa masih menggores tentang pengumuman ujian.

Aku sudah malas menghitung, ini SMS yang ke berapa kali. Pesan singkat dari anak didikku semuanya bernada bertanya. Semua ingin tahu. Ada pertanyaan polos, meminta, dan ada pertanyaan menghakimi. Beberapa SMS sudah kubalas, selebihnya kubiarkan terbang bersama angin atau bahkan membeku di dalam ponselku.

“Pak, ada yg gak lulus ya?”

“Pak Budi, sy lulus gak?”, bunyi SMS yang lain.

“Pak, qt lulus smua kan?”, banyak lagi SMS senada. SMS dengan bahasa anak muda. Cos menggantikan kata karena dari kata because, tq sebagai ucapan terima kasih, qt singkatan dari kita, i menggantikan kata saya, schol menggantikan kata sekolah, menghilangkan huruf vokal seperti pada kata semua menjadi smua, skrg menggantikan kata sekarang, u berarti untuk, dan banyak lagi singkatan gaul versi mereka.

“Qt tunggu sj bsk jam 8 ya ...”, aku mencoba menjawab salah satu pesan singkat yang barusan masuk dengan bahasa SMS gaya mereka.

“Oh ya mas, tadi ada murid penjenengan kemari. Daning dan Ajeng”, suara istriku menghentikan gerak jemariku menekan tombol ponsel.

“Nggak nyinggung-nyinggung pengumuman ujian kan?”

“Nggak. Mau ngopi foto-foto perpisahan OSIS di Pacitan tahun lalu. Saya suruh cari sendiri file di komputer, dia nggak mau. Daning titip flash disk ini”

“Suruh ngopikan?”

“Iya. Tapi, dia tadi sudah minta maaf kalau ngrepotin. Daning dan Ajeng lama juga kok menunggu penjenengan. Sekalian Daning mau pamitan. Katanya ia mau pergi setelah lulus ujian”

“Kemana?”

“Aku nggak enak mau nanya. Paling ke Jakarta”, Istriku menutup pembicaraan karena kudengar Titto, anak pertamaku memanggilnya.

Daning akan ke Jakarta? Apa nggak ngelanjutin kuliah? Entahlah. Anak-anak memang begitu. Kadang-kadang mereka berpikir sekolah itu pekerjaan sia-sia. Bayar mahal, cari pekerjaan sulit juga. Itu fakta, katanya. Suatu kali Daning pernah secara kritis protes padaku. Mengapa kehidupan di Indonesia semakin susah. Ia pesimis Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan ini. Aku sudah terbiasa dengan nada protes anak-anak OSIS seperti Daning. Aku ingat betul. Waktu itu, protes Daning kujawab di depan anak-anak OSIS yang lain dengan nada bicara seorang diplomat.

“Saya, yakin suatu saat Indonesia akan bangkit”.

“Mengapa pak Budi yakin”

“Suatu saat nanti pemimpin negeri ini adalah kalian. Tinggal kalian. Mau korupsi atau tidak? Selama kalian tidak mau melakukan KKN, itu artinya Indonesia akan bangkit dari keterpurukan”, jawabku waktu itu.

Aku melangkah mendekati meja kerjaku. Kutaruh ponselku di sana. Baru saja kuletakkan, seketika ponsel itu bergetar dan mengeluarkan nada memanggil. Aku sudah siapkan jawaban diplomatis, dari sebuah pertanyaan yang meminta kepastian. Ternyata telepon dari temanku yang mengabarkan bahwa dirinya juga kebanjiran SMS. Dia sepakat denganku untuk tidak mematikan hp karena banyaknya SMS dan telepon yang masuk. Kasihan nanti anak-anak frustrasi, bila setiap bel gurunya, ponsel selalu tidak aktif. Yang penting tidak memberi tahu kalau ada siswa yang tidak lulus.

Baru saja aku menutup perbincangan, sudah ada empat pesan singkat lagi masuk ke ponselku beberapa menit dalam pembicaraan kami. Tiga SMS isinya relatif sama. Berarti aman untuk tidak dijawab. Selain hemat pulsa, aku cukup takut bila tergelincir berbicara. Ini bisa berbahaya. Karena hampir semua anak punya ponsel. Sedikit rahasia terbuka sudah pasti menyebar kemana-mana. Apalagi ini hari belum malam benar. Waktu yang belum melewati batas etika untuk saling memberi kabar tentang pengumuman kelulusan.

Ketika kubaca pesan singkat yang keempat, aku sangat tergelitik. Ia tidak bertanya, tapi cukup menarik untuk kusimak.

“Esok jangan datang ke rumah ya pak. Datang aja tiga bulan lagi ketika saya menikah. Gitu ya ... pak, please. Biar saya gembira”.

Ajeng, nama siswa yang barusan SMS, ia memang gokil tapi cerdas dan kritis. Ajeng teman dekat Daning. Ia salah satu siswa yang kalau SMS tidak pernah menggunakan bahasa singkatan. Tidak gaul atau karena ia banyak uang? Aku juga nggak tahu alasannya. Sepertinya tidak hanya Ajeng yang berharap agar aku tidak datang ke rumah. Bila aku datang berarti membawa kabar duka, begitu anggapan mereka.

Kurasakan waktu berjalan lambat. Sebenarnya anak-anak yang akan menerima pengumuman bukan aku. Tapi, aku cukup bete juga. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewatnya delapan belas menit. Aku harus segera tidur. Aku tidak boleh terlambat bangun. Pagi-pagi benar aku harus mengantarkan pengumuman tidak lulus, tapi bukan pengumuman kematian seperti yang anak-anak bilang.

*****

Dini hari ku terbangun tidak sesuai rencana. Baru jam tiga lewat sepuluh menit. Kurasakan tidurku sedikit tak nyenyak. Kembali kuraih ponsel. Ada simbol pesan masuk di sana. Dua pesan singkat dari nomor yang sama.

“Kalo nanti Daning gak lulus, berarti Daning tlh mjadi cermin yg buram bg adik2 OSIS. Daning gak tahu, msh bolehkah mrk mngikuti kgiatn OSIS smentara Daning seniornya tidak bs mjadi contoh yg baik. Karna tdk lulus ujian”.

SMS pertama tertulis pukul 02.23. Yang kedua ditulis sepuluh menit kemudian.

“Sorry bgt, Daning mganggu pak Budi. Kalo Daning gak lulus mohon dmaafkn ya pak!”

Daning, salah satu siswa yang tidak setuju Ujian Nasional diadakan. Itu kudengar ketika ia terlibat dengan Ajeng teman akrabnya di OSIS.

Unas itu kejam”, katanya pada waktu itu pada Ajeng.

“Nggak juga tuh, menurutku dengan Unas teman-teman jadi mau belajar”.

“Bener lho, di Republik Intimidasi ini mana ada siswa mau belajar kalau kelulusan sekolah selalu seratus persen”, Ajeng melanjutkan.

“Kok Republik Intimidasi Jeng, nggak salah ...”, Daning sedikit protes.

“Lho, itu kan istilahnya pak Budi. Ya, kan pak ...”, tanya Ajeng padaku saat aku melintas dan aku harus berhenti sejenak karena Daning penasaran ingin tahu.

“Gimana to pak maksudnya?” Aku cukup mendengarkan dengan sedikit senyum karena Ajeng menjelaskan hal tersebut dengan gaya yang sedikit lucu.

“Gini lho sobat manisku. Coba kamu ingat-ingat aja. Ketika guru memberi tugas saat jam kosong. Kalau ada perintah dikumpulkan, gimana? Tugas itu dikerjakan dengan sungguh-sungguh kan? Karena kita-kita tahu akan dinilai. Tapi kalau tugas itu tidak diikuti kata dikumpulkan, kita-kita ngerjakannya santai. Ujung-ujungnya nggak selesai. Ya ... nggak? Tahu maksudnya?”, Daning hanya diam. Dalam pandanganku ia belum mengerti benar.

“Itulah Republik Intimidasi. Parodi yang pas untuk negeri ini. Sebuah negeri yang mau bergerak bila situasi sudah kepepet. Gitu lhoh Ning. Sekarang Daning baru mengangguk, tanda mengerti.

“Tapi aku tetap berpikir bahwa Unas tidak manusiawi”, bilang Daning di detik berikutnya. Diskusi tentang Unas kembali ramai. Padahal hanya dua orang. Daning dan Ajeng.

Kamu kok sentimen amat dengan Unas?”

“Gimana bisa dikatakan manusiawi, kalau kelulusan hanya ditentukan oleh hasil ujian pada satu waktu. Kita capek-capek belajar tiga tahun tidak dihargai. Coba kamu pikirkan, hanya gara-gara malamnya seorang siswa tidak bisa belajar karena tidak enak badan. Siswa ini harus tidak lulus ujian. Ini fakta. Nilai-nilai ulangan, mid semester, atau nilai yang lain tidak bisa menolong siswa tersebut”

“Tapi Unas mujarab lho Ning, lihat sekolah kita. Karena kemarin ada yang nggak lulus tujuh, mereka jadi sadar mau belajar. Iya kan ...” Ajeng mencoba meyakinkan.

“Nah, terbukti kan kata-kataku. Bahwa kita ini hidup di Republik Intimidasi. Lihat di sana banyak orang mau bergerak setelah ada korban. Coba tahun lalu sekolah kita lulus seratus persen, pasti banyak yang apatis dengan Unas. Jadi, Unas itu perlu Ning”.

“Nggak juga Jeng, Unas bukan satu-satunya solusi supaya siswa mau belajar. Menurutku yang paling tepat, kelulusan ditentukan oleh sekolah masing-masing”

“Siapa bisa tanggung Ning, kalau sekolah-sekolah diberi kewenangan bisa berlaku jujur”.

“Itu kan prasangka buruk .... “

“Ning, waktu telah membuktikan. Tahun-tahun kemarin kelulusan diserahkan pada pihak sekolah. Semua orang lihat bahwa sekolah meluluskan siswanya seratus persen tak peduli ia pandai atau bodoh. Itu fakta, bukan prasangka buruk”, ujar Ajeng berapi-api tapi tetap bersahabat.

Nah, mulai seru nih, godaku ketika mendengarkan mereka berdebat.

“Menurut pak Budi, gimana?” Tanya Ajeng.

“Menurutku pendapat kalian benar semua. Kalian cerdas deh ...”

“Nggak gitu dong pak, pak Budi harus punya pilihan. Setuju atau menolak”.

“Oh, gitu ... saya nggak setuju kalau Unas sebagai penentu kelulusan”

“Alasannya ...”

“Sama dengan alasan Daning. Karena Unas itu tidak sejalan dengan kurikulum yang diberlakukan. Tahu kan, apa yang dikehendaki kurikulum sekarang. Yang diukur dalam belajar itu tidak hanya aspek koqnitif saja. Unas cenderung hanya mengukur aspek kognitif, sedangkan aspek afektif dan psikomotor terabaikan”.

“Aspek psikomotor kan bisa dituntaskan di semester I kelas XII pak”, Ajeng mendebat cerdas.

“Benar Jeng, pendapatmu. Tapi kalian sadar kan bahwa ketika memasuki semester II sekolah kalian seolah berubah menjadi bimbingan belajar? Dan, banyak kelemahan-kelemahan lain yang menyertai diadakannya Unas”.

“Kalau kelulusan diserahkan sekolah, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang berlaku curang pak” Ajeng belum mau menyerah.

“Biarin aja mereka nggak jujur. Seleksi alam akan terjadi kok. Sekolah yang meluluskan siswanya seratus persen tanpa diikuti kualitas akan menuai hasilnya”

“Maksud pak Budi?”

“Gini lho, buat apa sekolah itu selalu meluluskan seratus persen tiap tahunnya kalau tidak satupun anak didiknya diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan selalu kalah bersaing ketika memasuki bursa kerja”

“Oh ....”

“Nah, disinilah orang tua siswa akan memilih. Sekolah mana yang tepat untuk anaknya. Sekolah yang tidak mementingkan kualitas akan ditinggalkan peminat, begitu kan ....?” Aku gembira sudah melerai perdebatan mereka. Mereka juga tampak gembira karena saya telah memilih dengan argumen yang bisa mereka logika.

“Mas .... sudah bangun?

Suara serak istriku yang terbangun membuyarkan lamunanku.

“Ada SMS lagi?” tanyanya penuh peduli.

Ada, jawabku singkat.

Istriku meninggalkan kamar menuju dapur. Seperti biasanya ia memanasi air untuk minum dan mandi pagi ini. Terdengar olehku ponsel bergetar. Tanda ada pesan singkat lagi yang masuk. Daning lagi. Padahal dua pesan singkat beberapa waktu lalu belum aku balas. Aku merasakan bahwa Daning tidak tidur malam ini.

“Kalo Pak Budi ke rumahku pagi ini, Daning ikhlas kok. Pak, waktu ujian Daning tdk bisa mngerjakn Biologi. Gak th knapa tiba2 kpalaku pusing”

Aku bingung dengan mantan sekretaris OSIS ini. Kubalas pesan singkatnya dengan hati-hati.

“Ning, bdoa aja. Tuhan slalu mberi yg tbaik u qt”.

“Ya Pak mksh. Mhn maaf Daning sdh mganggu Pak Budi”.

Ini yang membedakan Daning dengan anak-anak yang lain. Walaupun ia sangat dekat denganku tapi ia tidak merajuk ingin tahu lulus atau tidak.

Adzan berkumandang. Setelah salat, aku bergegas mandi. Aku harus semangat pagi ini walaupun sebenarnya hatiku sedih. Karena akan mengantarkan sebuah keputusan memilukan. Tidak lulus ujian.

Aku sampai pada sebuah desa yang menjadi tujuanku. Ternyata jauh juga rumah anak didikku ini. Aku jadi mengerti, mengapa anak-anak sering terlambat bila mengikuti jam tambahan pagi. Jam enam lima belas menit anak-anak harus tiba di sekolah. Ternyata itu cukup menyulitkan bagi mereka. Seorang guru konseling menemani tugasku pagi ini. Sebuah harapan, ia lebih bisa menghibur anak didikku yang tidak lulus.

Aku memutuskan untuk bertanya pada penduduk desa agar tidak tersesat. Bertepatan dengan sepeda motor kami berhenti di depan warung, ada seorang gadis yang lari buru-buru meninggalkan warung. Cara lari gadis tersebut sangat tergesa dan tidak biasa. Pemandangan itu membuat diriku sedikit penasaran.

“Numpang tanya bu, bener ini desa Lengking”

“Bener Pak, ada apa?”

“Rumahnya Narsi sebelah mana ya Bu?”

Narsi anaknya pak Darso. Narsi yang orangnya kecil? rambutnya lurus sebahu?”

“Benar bu”

“Itu … desa sebelah”.

“Nah, itu tadi yang lari teman sekolahnya. SMA mana gitu. Oh ya, Slogohimo”

“Ya, bu kami gurunya”

“Oh, gurunya .... Memang ada apa dengan Narsi”

“Nggak ada apa-apa bu .... Oh ya, tadi yang lari siapa namanya Bu. Katanya murid saya?”

Aku mencoba mengalihkan perhatian. Yang sebenarnya aku juga tidak paham siapa gadis itu. Karena pandanganku tadi terhalang helm yang masih tertambat di kepalaku. Selain itu, aku juga takut rahasia pengumuman ini ketahuan. Maklum masyarakat desa. Ada berita sedikit saja bisa cepat tersebar kemana-mana.

“Anggraeni”

“Rumahnya dekat bu dari sini?”

“Kalau lewat tegalan, dekat. Jalan yang sempit ini yang dilewati Anggraeni tadi. Jalannya belok-belok, naik turun. Pak guru lewat yang situ saja. Jalannya dapat dilewati sepeda motor. Tapi ya cukup jauh, melingkar, tiga kilometer lah kira-kira”

“Berarti saya lewat mana ya Bu?”

“Kemana? Ke Narsi atau Anggraeni?”

“Ke rumah Narsi”

“Oh, gitu. Desa Lengking Selatan yang sebelah sana. Perempatan tadi ke kiri. Nanti setelah melewati sawah, desa pertama itu desanya Narsi. Bapak tanya saja rumah pak Darso. Banyak yang tahu kok”

Beginilah kultur desa, tetangga desa saja saling kenal. Dan, ternyata desa Lengking ada dua hanya kelurahannya berbeda. Aku teringat lagi nama Anggraeni. Dan, kenapa harus lari kalau lihat gurunya. Malu karena belum mandi atau ada masalah lain? Anggraeni, siswa kelas berapa ya? Aku mencoba bertanya sama temanku. Ia juga menggeleng tidak begitu paham.

Aku mohon diri. Belum sempat sepeda motor dibunyikan dan baru saja aku selesai menyarungkan helm di kepala, terdengar suara keributan di lereng tak jauh dari warung tempatku berdiri.

Sayup-sayup kudengar kabar, ada yang bunuh diri. Siswa SMA. Perempuan. Ia memilih mati karena tidak lulus ujian.

Jelas bukan Narsi yang bunuh diri”, Bisikku dalam hati, menghibur diri. Karena pengumuman tidak lulus belum sampai di tangannya. Masih dalam genggaman saya.

Aku sedikit bingung. Sebenarnya apa yang terjadi? Pemilik warung kulihat buru-buru menutup warung miliknya. Orang-orang lalu lalang. Beberapa orang berlari. Tidak sedikit yang setengah berlari menuju lereng tempat kabar kematian bunuh diri berhembus.

Penasaranku memuncak. Kulepas helm di kepala. Kucoba bertanya. Setiap kali ditanya mereka malah menunjukkan jalan menuju ke rumah duka dengan sikapnya yang ramah. Tak ada cara lain untuk menjawab penasaranku dengan mendatangi rumah yang orang-orang tunjukkan. Disitulah jasad siswa yang dikabarkan bunuh diri disemayamkan.

Aku sampai di rumah itu. Benar, ada duka cita di sana. Seseorang menghampiriku.

“Bapak gurunya Anggraeni?”

Aku bingung. Anggraeni? Belum luruh kebingunganku. Laki-laki itu kembali berbicara kepadaku.

“Semua telah terjadi Pak, dan itu takdir dari-Nya. Anggraeni telah pergi untuk selamanya”

Aku semakin bingung. Tampak sekali oleh mereka kebingungan itu.

“Saya luruskan beritanya. Ia tidak bunuh diri tapi kecelakaan.”

“Sebentar pak, saya benar-benar tidak mengerti ....”

“Ya pak, kami tahu ... nanti kita bicarakan di dalam.”

Bagaimana mereka tahu kebingungan hatiku. Aku bingung bukan karena mengapa Anggraeni meninggal? Aku bingung karena belum terjawab siapa sebenarnya nama Anggraeni itu.

Jantungku terasa benar-benar berhenti, ketika melihat foto di depan jenazah kaku itu. Daning? Sekarang aku tahu Anggraeni itu Daning. Ya, Daning AP, yang di rumah orang-orang memanggilnya Anggraeni. Aku selalu mengingatnya sebagai Daning. Yang sering aku parodikan sebagai Daning Air Putih bukan Daning Anggraeni Putri, nama yang sebenarnya.

Ia benar-benar Daning. Daning yang sepertiga malam tadi mengirim tiga pesan singkat ke ponselku. Meleleh ari mataku, tak terbendung.

Orang-orang memperhatikanku.

Aku semakin sedih dan merasa berdosa ketika lelaki kharismatik itu menceritakan kronologi kecelakaan yang menimpa Daning. Menurut lelaki itu, Daning jatuh tergelincir ke jurang dan kepalannya membentur batu. Seorang tetangga melihat Daning sekitar pukul enam buru-buru pulang dari warung karena melihat gurunya akan datang ke rumah mengantarkan pengumuman. Dan, gurunya itu aku.

Benar Anggraeni, ponakan saya tidak lulus Pak?” Tanya bapak itu tanpa adanya sebuah emosi.

“Saya memang membawa pengumuman tidak lulus Pak, tapi bukan atas nama Daning. Bukan Daning Pak yang tidak lulus. Maafkan saya”.

Suaraku tersendat.

Laki-laki itu ternyata pakde-nya Daning. Ia menjelaskan peristiwa sebelum kecelakaan itu terjadi. Daning melintas di rumah pakde-nya sambil menangis. Sambil berlari. Ketika ditanya katanya ia tidak lulus. Dua gurunya sebentar lagi akan datang ke rumah mengantarkan pengumuman.

“Saya yakin Anggraeni tidak bunuh diri. Siapapun orangnya kalau terjatuh ke sungai berbatu dan tidak berair kemungkinan juga bisa meninggal” Keluarga yang lain menegaskan. Tak sedikit pun ada nada menyalahkan.

Aku menjelaskan kepada keluarga Daning bahwa Daning lulus ujian. Untuk meyakinkan mereka, kutunjukkan nilai Ujian Nasional seluruh siswa. Ada tiga siswa yang tidak lulus ujian. Nilai itu memang sengaja kubawa. Dalam daftar tersebut Daning dinyatakan lulus. Nilainya rata-rata bagus. Nilai biologi pun tidak begitu buruk. Walaupun menurut pengakuannya, ia tidak bisa mengerjakan dengan baik mata pelajaran tersebut.

Siang itu keluarga besar sekolahku datang melayat. Banyak diantara para pelayat yang membicarakan tentang keputusan sekolah menyampaikan pengumuman ke rumah bagi siswa yang tidak lulus. Aku harus menebalkan telinga mendengar opini mereka, pro dan kontra. Semua juga menyesalkan tapi tidak menyalahkan, kenapa Daning ceroboh mengambil kesimpulan ketika aku tanya di warung pagi tadi. Aku pun tidak berpikir kalau keberadaanku di warung tadi menyebabkan tewasnya Daning.

Aku pegangi flash disk yang berisi foto kenangan perpisahan anak-anak OSIS. Foto yang dimintanya dan akan kuserahkan bila bertemu di sekolah nanti. Sekarang aku tidak tahu kepada siapa flash disk ini akan aku serahkan. Karena, Daning tak akan pernah lagi datang ke sekolah. Hari ini dan nanti.

Memilukan.

Ternyata kedatangan Daning ke rumah kemarin benar-benar untuk pamitan. Sungguh aku tidak menyangka bahwa apa yang dikatakan anak-anak menjadi sebuah kenyataan. Pengumuman yang kubawa tidak lebih sebagai pengumuman kematian.

“Terima kasih Bapak Ibu. Kita tutup rapat dinas kali ini dengan ucapan hamdallah bersama-sama”

Suara pimpinan sekolah membuyarkan lamunanku. Meluruhkan kepedihanku. Ia menutup rapat dinas tentang Ujian Nasional yang kebijakannya sudah berubah. Tapi, kematian Daning tidak bisa diubah oleh siapapun.

- Selesai –

Slogohimo, Januari 2011

BIODATA PENULIS

Nama : SUMANTO, S.Pd.

Tempat, tanggal lahir : Sukoharjo, 5 Juli 1968

Pekerjaan : Guru Bahasa Indonesia

Unit Kerja : SMA NEGERI 1 SLOGOHIMO

Alamat Kantor : Jalan Raya Slogohimo – Purwantoro Km. 1

Kode Pos 57694 Slogohimo, Wonogiri, Jawa Tengah.

Telepon Kantor : (0273) 412589

Alamat Rumah : Gondopolo RT 002 RW 003, Klunggen, Slogohimo,

Wonogiri, Jawa Tengah.

NO. HP : 081329465056

Tanda Tangan Wibi

Tanda Tangan Wibi

Oleh: Sumanto, M.Pd.


Bingung dan cemas. Sesuatu telah terjadi di sekolahku. Bu Anjar, guru konseling dikabarkan tidak pulang ke rumah sejak kemarin sore. Tidak ada yang tahu. Kemana guru yang masih membujang itu menghilang? Sepertinya rasa bingung sudah terasa di denyut nadi penghuni sekolah. Bingung dan cemas berubah menjadi rasa takut, sehingga rumput hijau di sekolah terasa gersang untuk dilihat.

Bu Anjar memang selalu pulang sendiri dari sekolah. Walaupun, jarak rumah dan sekolah tempatnya mengajar merupakan perjalanan yang cukup melelahkan. Ia tetap memilih sepeda motor sebagai teman rutinitas yang menyenangkan. Jalan naik turun, berkelok kiri kanan tiada henti membuat perutnya mual. Itulah salah satu alasan, kendaraan umum tidak jadi pilihannya.

Kemarin siang, ia pulang setelah ulangan semester selesai dilaksanakan. Pulang seperti biasa. Dengan langkah dan senyum seperti biasa. Sebelum akhirnya dikabarkan hilang.

“Selepas maghrib, memang orang tua bu Anjar telepon saya. Tapi saya pikir, malamnya dia dah kembali pulang”, Bu Tika memecah suasana hening di ruang konseling.

“Nggak cerita sesuatu sebelum pulang?”, tanya pak Adit. Wakasek kesiswaan yang bernama lengkap Aditya Sosiawan.

“Bercerita. Tapi, tak ada yang istimewa. Hanya ia, pernah sms ke ponselku. Seseorang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini”.

“Nah, itu …”, aku tertarik tentang sms bu Anjar ke ponsel bu Tika.

“Ah, itu keluhan biasa bagi orang-orang konseling”, bu Tika tak tertarik dengan kecurigaanku.

Diskusi di ruang konseling berhenti.

Buntu.

Aku keluar ruangan memandangi lapangan basket. Tak ada yang berubah. Sebuah lapangan yang tidak rata benar, tapi cukup nyaman untuk berebut bola. Dinding sebelah utara berdiri kokoh. Bertuliskan ‘Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami’ sebuah kalimat penuh penyerahan diri. Sebelah timur beberapa pohon semakin rindang. Berteduh di bawah rerimbunan daunnya adalah sesuatu yang nyaman dilakukan. Bendera merah putih kelihatannya sedang malas berkibar. Walaupun di dekatnya tertulis kalimat bijak penuh semangat ‘Merah Putih Teruslah Kau Berkibar’.

Suasana hening ujian semester sudah berubah menjadi suasana duka bak kematian. Sebuah masalah mencuat di lingkungan sekolah. Masalah yang bersumber dari orang yang biasa menyelesaikan masalah.

Sementara, titik terang tentang hilangnya bu Anjar belum ditemukan sudah menyeruak masuk ke ruang konseling sebuah masalah baru. Ada seorang anak di ruang sembilan yang tidak mau mengisi kertas ujian. Wibi, nama anak itu.

“Ada yang istimewa dengan anak itu?”, tanya pak Adit pada bu Tika.

“Sebuah sikap yang biasa ditunjukkan oleh Wibi. Aku sampai bosan. Pelajaran biasa saja juga sering mogok”, jawab koordinator konseling itu dingin.

“Oo …”

Lagi-lagi bentuk ketidaktertarikan tergambar dalam sikap bu Tika tentang sesuatu yang menurutku penting dibicarakan. Aku diam saja. Kusembunyikan kecurigaanku tentang seseorang di sms bu Anjar. Dan, Wibi yang berlaku aneh di ruang ujian. Kusadari tugasku sebagai guru konseling yang secara struktural kedudukanku memang masih di bawah mereka.

Baru saja aku berniat meninggalkan ruang konseling, pak Arif datang dengan penuh keyakinan memberi kabar. Ia begitu semangat. Informasi tentang salah seorang guru yang telah lama ditinggal mati istrinya. Guru itu bernama Wahyu, mengajar di SMP beda kecamatan dengan tempat bu Anjar mengajar. Banyak orang tahu guru tersebut akhir-akhir ini dekat dengan bu Anjar.

“Menarik … punya nomer ponselnya?” tanya pak Adit.

“Temanku memberikan info lengkap dengan alamat rumahnya. Hari ini guru itu juga tidak datang ke sekolah”, Jawab pak Arif penuh keyakinan.

Beberapa guru silih berganti menghubungi nomor yang disebut pak Arif barusan. Sementara yang lain mencoba lagi menghubungi nomor bu Anjar. Tidak nyambung semuanya. Pak Arif juga ikutan sibuk di ruang konseling. Bahkan, ia berusaha meyakinkan kepada semua orang bahwa ini logis. Pergi berdua. Kemudian ponsel dimatikan.

Diskusi kembali hangat di ruang konseling dan berhenti ketika pimpinan sekolah masuk ke ruang yang tidak begitu luas tersebut. Sudah menjadi rahasia umum pak Arif suka cari perhatian bila ada pimpinan sekolah.

“Tapi, bu Anjar bukan perempuan yang mudah pergi dengan laki-laki Pak”, bu Tika mencoba membela teman yang sehari-hari duduk tepat di sebelah meja kerjanya. Menurut bu Tika pimpinan sekolah mulai terpengaruh kata-kata pak Arif.

“Saya tidak mengatakan bu Anjar seperti itu. Tapi, kemungkinan itu bisa terjadi”.

Pimpinan sekolah berlalu di detik berikutnya setelah mengakhiri pembicaraan. Sementara, bu Tika sedikit emosi dengan penilaian yang menurutnya keliru tentang bu Anjar.

Bu Anjar bukan tipe perempuan yang mudah menerima kehadiran seorang laki-laki. Ia cukup memilih. Bukan juga seorang perempuan yang mudah dirayu, tidak mudah tergoda oleh harta dan wajah rupawan. Itu dibuktikan ketika beberapa laki-laki berusaha mendekatinya. Semua orang tahu itu. Tapi, anehnya kata-kata pak Arif lebih tajam menggores sehingga nama Wahyu seolah ditetapkan sebagai tersangka tunggal.

Pencarian dimulai.

Mendatangi sekolah dan rumah pak Wahyu adalah target utama. Guru yang dicurigai membawa lari bu Anjar.

Bu Tika tetap di ruang konseling denganku. Ia membuka-buka dokumen dan memeriksa laci bu Anjar. Berharap menemukan informasi penting tentang keberadaan teman dekatnya itu. Sementara aku, lebih suka mencermati data pelanggaran siswa. Ada sesuatu yang menarik. Seorang siswa sering bermasalah. Anehnya ia bermasalah pada saat bu Anjar sedang piket di ruang konseling. Aku semakin terkejut ketika nama tersebut sama persis dengan nama siswa di ruang sembilan bernama Wibi yang dikabarkan malas mengerjakan soal ujian semester. Kusimpan kecurigaanku pada seorang Wibi. Toh, kalau kusampaikan pada bu Tika ia belum tentu juga percaya.

Kudatangi ruang sembilan. Ruang tes yang sedikit penuh muatan. Ada empat puluh siswa di ruangan itu. Kelas XII berdampingan dengan kelas X. Kuamati wajah mereka satu per satu. Begitu juga Wibi, yang tidak mengerti sedang kuperhatikan. Hening membalut mereka yang suntuk mengerjakan soal tes dalam bidikan mata dua guru pengawas ruangan. Pengawas ruangan menjelaskan tentang Wibi yang waktunya hampir habis untuk sesuatu yang nggak perlu.

Buku presensi di meja pengawas kubuka pada lembar yang ada nama Wibi. Lengkapnya Wibi Antoro. Aku menemukan keanehan pada tanda tangan Wibi. Rupanya tanda tangan ini yang kemarin dipersoalkan bu Anjar, sehingga Wibi harus mengerjakan tes di ruang penyelenggara. Sebuah tanda tangan berbau pornografi. Huruf W pada tanda tangan Wibi sengaja dibuat agak besar menyerupai pantat manusia. Nakalnya diujung tiap bulatan itu diberi titik di tengahnya. Anehnya bulatan itu berbeda tiap harinya.

Kembali Kupandangi Wibi. Ketika mataku bertumbuk dengan pandangannya, ia salah tingkah dan gelisah. Dari jauh sepertinya ia menulis. Tapi, yang sebenarnya ia menggambar menumpahkan kegelisahan.

“Saya sudah dihukum bu Anjar. Jadi, cukup. Bapak tak perlu lagi mempersoalkan tanda tangan saya”, Kata Wibi ketika aku menanyakan tanda tangan nakalnya.

“Itu seni, Pak. Tinggal orang menafsirkannya. Kalau Bapak tidak berpikir buruk, tanda tangan itu tidak bernilai negatif”, tambahnya berdiplomasi.

“Kalau orang foto telanjang, kemudian banyak yang menggugat sebagai pornografi. Dan, orang itu menjawab sebagai seni. Kamu bisa menerima pendapat tersebut?”

“Kamu harus bisa membedakan antara seni dan pelanggaran norma”, tambahku sedikit kesal.

Wibi menunduk.

Wibi kuminta ke ruang konseling bila tes jam pertama usai. Sampai jam istirahat tiba, Wibi tak kunjung datang. Aku curiga, ia tidak ingin datang. Informasi yang kudengar, ia mencoba lari dari sekolah melalui pintu belakang.

Wibi kududukkan di ruang konseling. Ia terlihat cemas dan bingung. Raut mukanya menjadi takut ketika mendengar pak Adit akan melaporkan kasus bu Anjar ke kantor polisi. Pak Wahyu tersangka utama kasus hilangnya bu Anjar, turut juga menghilang.

“Apa nggak ada izinnya di sekolah”

“Izinnya ada kepentingan keluarga, sejak kemarin. Rumahnya sepi, terkunci. Tetangganya bilang, pak Wahyu pergi agak siang. Sementara, anaknya sekolah”

“O … tapi tidak buru-buru ke kantor polisi, lebih baik”, pintaku pada pak Adit.

“Bu Anjar hilang kemarin siang, guru itu juga pergi kemarin siang. HP sama-sama dimatikan. Menunggu apa lagi?”

Pak Adit sudah kelihatan nggak sabar. Bagaimanapun aku harus gigih menahannya untuk tidak meluncur ke kantor polisi. Bu Tika dan beberapa guru lain juga sependapat denganku. Sementara, kulihat Wibi mulai menangis ketika dikata-katai oleh pak Adit. Ia dikatakan tukang pembuat masalah. Nggak mengerti keadaan. Sementara sekolah sibuk mencari hilangnya bu Anjar, malah menambah persoalan. Wibi sangat pucat ketika pak Adit melampiaskan kekesalannya dengan menghardik keras dengan tuduhan menculik bu Anjar. Tuduhan yang oleh beberapa orang dikatakan tidak cukup bukti, bahkan emosional.

“Jangan-jangan kamu yang menculik bu Anjar!!!”

Kata-kata pak Adit ini terngiang di telingaku. Sempat juga menebalkan rasa kecurigaanku.

Kuamati cara duduk Wibi yang mulai tidak tenang. Kalau tidak ada pak Arif mungkin ia sudah lari. Aku yakinkan pada bu Tika tentang rasa curigaku. Kusodorkan bukti fisik berupa tanda tangan aneh. Tanda tangan yang tidak wajar untuk anak sekolah, apalagi ia masih kelas X semester I.

“Saya kesal, Pak?” jawabnya ketika kutanya tentang tanda tangannya.

“Kesal, pada setiap guru perempuan yang mengawasi ruangan tes saya”, Wibi menunduk tak melanjutkan kata-katanya.

“Salah apa ibu gurumu. Menegurmu ketika menyontek?”

“Tidak, Pak”.

“Kalau tidak, mengapa kamu tega menggambarnya sedemikian rupa di tanda tanganmu?”

Guru yang berada di ruangan itu dibuat bingung oleh pernyataan Wibi. Pak Adit semakin tidak sabar melihat Wibi yang menurutnya psikopat, tapi diperlakukan begitu baik. Ia semakin geregetan ketika aku dan bu Tika menginterogasi Wibi tanpa adanya sebuah emosi.

“Terus masalahmu, apa …?!!” Tanya pak Adit dengan nada tinggi.

“Saya benci semua perempuan, karena saya benci dia”

“Dia. Siapa?”

“Bu Anjar. Dia tidak pernah mengerti perasaan dan penderitaan saya”

Semua terkejut.

Korden jendela termangu mendengar pernyataan Wibi. Kursi tempat duduk bu Tika semakin sesak nafas, tidak hanya karena kelebihan beban oleh orang yang mendudukinya. Jarum jam yang berdetak berhenti sesaat, seolah pingsan walaupun akhirnya siuman. Dan, dinding ruangan seolah tak percaya dan bingung melihat pengakuan kebencian yang tanpa alasan.

“Kamu cinta sama gurumu?”

“Tidak.”

“Wibi … lihat mataku. Lihat semua penghuni sekolah ini cemas dengan hilangnya bu Anjar”.

“Pak Adit, Sabar”, bu Tika mencoba menenangkan pak Adit.

“Benar, kata pak Adit kamu menculik bu Anjar?” tanyaku

“Tidak.”

Tangan pak Adit melayang di pipi Wibi. Wajah guru berbodi atletis itu memerah. Wibi berurai air mata. Menunduk tidak melawan. Sementara di luar ruangan banyak anak berkerumun, penuh bisik karena penasaran. Pak Arif menghalau mereka. Semua pergi menuju ruang tes masing-masing karena sebentar lagi jam istirahat usai. Kembali kutanya Wibi di detik berikutnya.

“Kamu tidak menculik bu Anjar, tapi tahu bu Anjar di mana?”

“Sepulang sekolah kemarin, aku benar-benar sedih dan termangu di tepi jalan. Bu Anjar menghampiri dan menghantar saya pulang. Sesampai di rumah, bu Anjar menangis mendengar cerita hidup saya. Sampai sore ia masih di rumah”.

Wibi berhenti bercerita. Ia meremas-remas tangannya. Lalu menangis.

“Saya takut …” hanya dua kata yang keluar dari mulut Wibi setelah semua lama menunggu.

“Takut kenapa? Bu Anjar terus ke mana?”

“Saya takut kehilangan bu Anjar, sehingga saya menyanderanya ….”

Wibi menangis sejadi-jadinya.

Ia benar-benar takut.

“Jadi, bu Anjar sekarang di rumahmu?”

Wibi mengangguk. Sambil menyerahkan HP milik bu Anjar yang telah tidak bernyawa.

Semuanya lega. Diputuskan berangkat menjemput bu Anjar ke rumah Wibi. Tapi, Wibi kembali menangis dan tak mau beranjak dari tempat duduknya. Hanya dua kata, “saya takut” yang berulang-ulang diucapkannya.

“Kamu Nggak usah takut. Bu Anjar benar-benar di rumahmu kan? Kamu tidak bohong?”

Wibi hanya mengangguk.

“Nha … kenapa kamu takut?”

“Ia sudah mati”.

Semua panik.

Jam dinding mati suri. Detaknya berhenti. Beberapa orang lalu lalang di koridor sekolah. Daun-daun di depan ruang konseling seperti luruh. Dinding kokoh lapangan basket semakin bisu, kaku. Kibasan bendera di halaman seolah minta diturunkan menjadi setengah tiang. Kabar kematian bu Anjar, sayup-sayup sampai di setiap sudut sekolah. Meski belum semua mendengarnya.

Koordinasi dilakukan dengan cepat.

Tes ulangan semester tetap dilanjutkan. Semua berharap keterangan Wibi tidak benar adanya. Wibi digelandang menuju rumahnya.

*****

Sampailah rombongan di rumah Wibi. Rumah yang sepi. Tidak ada suara. Rumah yang terpencil. Rumah itu terletak di ujung desa. Jarak antara rumah yang satu dan yang lainnya cukup jauh. Sebelah timurnya persawahan yang begitu luas berbukit. Sekarang rumah itu sudah banyak dikerumuni orang. Kabar tentang ada guru yang meninggal di dalam rumah tersebut cepat menyebar ke penjuru desa.

Suasana mencekam.

Namun, beberapa guru bertanya-tanya dalam hati. Bukankah rumah ini, rumah pak Wahyu yang mereka datangi pagi tadi?

Rumah Wibi terkesan berantakan. Sepeda motor milik bu Anjar diparkir suka-suka di dalamnya. Wibi berdiri termangu di depan pintu kamarnya. Tangannya menunjuk kamar yang lain. Rupanya jasad bu Anjar berada di sana.

Ketika pintu dibuka betapa semuanya terkejut.

Bu Anjar benar-benar telah meninggal. Mati di tangan muridnya sendiri. Kaki dan tangannya terikat. Sangat erat. Mulutnya dibungkam dengan perekat berwarna hitam. Tangis pecah di ruangan itu. Orang-orang yang di luar ruangan sama menunduk, larut dalam kepedihan masing-masing.

Sementara, Wibi entah di mana?

Tiba-tiba, ada suara membangkitkan kesadaranku yang telah beku.

“Dia masih hidup …”

Beberapa guru berhenti menangis. Orang-orang di luar berebut untuk masuk. Tapi dihalau polisi dan beberapa tokoh masyarakat di desa tempat tinggal Wibi.

Guru konseling itu dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Nyawa bu Anjar terselamatkan. Kegembiraan membuncah, terpancar di raut muka semua orang yang hadir di tempat itu. Nada syukur bergantian terucap. Pembunuhan tidak benar-benar terjadi di desanya. Sehingga mereka tidak perlu takut kalau harus melintasi rumah tersebut malam-malam ketika giliran air sawah mereka dapatkan.

Rasanya kegembiraanku muncul bersamaan dengan perasaan cemas tentang keberadaan Wibi. Bu Tika tidak bedanya dengan aku. Sama-sama cemas. Takut kalau Wibi lebih memilih mati, untuk mengakhiri penderitaan hidupnya. Sambil meneriaki nama Wibi, aku dan beberapa guru mencari setiap sudut ruangan yang sebenarnya sangat asing untuk menemukan seorang Wibi.

“Mas, guru. Biasanya kalau nak Wibi marah selalu sembunyi di kamar ibunya”, Suara seorang nenek menghentikan pencarianku.

“Kamarnya yang ujung, tertutup itu. Ia selalu begitu sejak ibunya meninggal. Pak Wahyu sampai bingung …”

“Lhoh, ini memangnya rumah pak Wahyu yang guru SMP itu ya mbah?”

Inggih leres, nak Wibi putranipun” Jawab nenek itu dengan bahasa Jawa yang kenthal.

Wibi ditemukan. Ia benar-benar terpuruk di sudut kamar.

Benar dugaanku. Maunya ia mati saja. Dulu ibunya pergi ketika ia baru menginjak bangku SMP. Sekarang, ayahnya pergi meninggalkannya karena merasa cintanya tak bertepuk. Perempuan yang diharapkan menggantikan posisi belahan jiwanya sekaligus tempat menitipkan anak lelakinya seorang, menolaknya.

“Ayahmu pergi kemana?” tanyaku dalam perjalanan ke rumah sakit.

Wibi diam tak menjawab. Ada sesuatu yang tak ingin ia katakan. Seperti ia menyembunyikan bahwa bu Anjar guru sekolahnya punya hubungan dekat dengan ayahnya. Wibi baru menjawab setelah aku merasa bosan untuk bertanya berikutnya.

“Pergi sementara. Hatinya perih. Bu Anjar menolak untuk menjadi ibuku. Itu yang dikatakannya lewat telepon lima menit sebelum aku masuk kelas”.

Dan, hanya itu yang diucapkannya sepanjang perjalanan ke rumah sakit.

Sampai rumah sakit, sepi yang kutemukan.Tidak ada yang berkata-kata. Beberapa guru dan pimpinan sekolah ada di ruangan itu. Wibi tidak mau masuk apalagi mendekat bu Anjar yang dililit selang infus dan tabung pernafasan. Ia terpenjara oleh rasa bersalah. Semua mata memandangnya tidak bersahabat. Ia duduk agak menjauh dari ruangan itu. Ia teramat risau memikir kisah hidupnya dan hukuman yang akan diterima esok pagi. Ia menyadari telah melakukan kesalahan besar untuk guru dan sekolahnya.

Ketika aku bertanya, seandainya benar bu Anjar tidak bersedia menjadi istri ayahnya? Ia tidak segera menjawab.Tangannya bergerak-gerak di lantai licin rumah sakit. Sepertinya menulis, yang sebenarnya melukis hatinya yang perih. Kemudian ia tengadah. Pandangannya menerawang jauh. Mengembara. Mencoba mencari tempat untuk menyandarkan hatinya yang galau. Tempat yang jauh. Di langit luas yang tidak berbatas. Di sana ia menemukan jawabannya.

Ia memandangku.

“Bagaimana?” tanyaku untuk terakhir kalinya.

“Yang pasti aku tidak akan membunuhnya”.



--Selesai--

Slogohimo, 7 Desember 2010